Kata kuncinya gotong royong. Sebab sebagai ibu kota Provinsi Jawa Timur, saat ini Surabaya memiliki penduduk sebanyak 2.972.801 jiwa, dengan luas daratan 334,52 km2. Di kota itu tinggal beragam suku (Jawa, Madura, Tionghoa, dan lain-lain), dan agama.
Bagi masyarakat yang ingin rumahnya didandani (diperbaiki), menurut Cak Eri, dapat mengajukan permintaan lewat aplikasi Sayang Warga, e-Hausing atau e-Rutilahu.
Seiring dengan perkembangan zaman, dalam membangun Surabaya secara umum, termasuk di dalamnya dandan omah mengandalkan teknologi informasi berbasis kearifan lokal. Lalu bagaimana dengan warga yang nir-teknologi?
Disitulah kearifan lokal saling tolong-menolong hadir. Baik pertolongan sesama keluarga, warga, hingga pejabat pemerintah.
Lebih jauh Eri memaparkan data bahwa pada 2022 ada 1.465 unit rumah yang mendapat program dandan omah. Dana yang dibutuhkan untuk tiap rumah sekitar Rp30 juta.
Dari 1.465 unit rumah yang diperbaiki itu, 950 unit menggunakan APBD Kota Surabaya. Sedangkan yang non-APBD 380 unit berupa Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS), 98 unit dari Baznas, 30 unit dari CSR, dan 7 unit dari gereja.
“Semuanya kami perbaiki dengan cara gotong royong. Mulai dari pengadaan material, tukang, sampai pengadaan dana,” papar Wali Kota yang meraih sejumlah penghargaan di antaranya Innovative Government Award (IGA) 2021, Kategori Kota Terinovatif dari Kemendagri Republik Indonesia.
Gotong royong, gotong royong, dan gotong royong. Kata ini berkali-kali diucapkannya dengan gaya arek yang tegas, dan blak-blakan, tapi tidak menyakitkan hati.
Tidak hanya diucapkan, budaya gotong royong yang merupakan warisan nenek moyang tersebut ia kembangkan sebagai kata kerja dalam berbagai programnya dalam memimpin masyarakat Surabaya yang majemuk. Hal ini “bertentangan” dengan jamak lumrahnya kota besar yang masyarakatnya cenderung individualistis.
Untuk mengikat nilai-nilai kegotong-royongan itu, dalam berkomunikasi dengan warganya, Cak Eri menggunakan bahasa Indonesia, campur Jawa (kromo dan ngoko) dengan gaya bahasa Suroboyoan.
Selain itu juga tidak melupakan nilai-nilai religiusitas. Dalam hal ini, para warga penerima manfaat, diajak berdoa, diantaranya dengan cara slametan atau kenduri bagi warga Jawa muslim. Saat penyerahan kunci, ketika dandan omah telah usai, ia selalu berpesan “Bapak, Ibu, rumah yang sudah didandani ini jangan dijual.”
Discussion about this post