PENASULTRA.ID, JAKARTA – 10 nominasi kepala daerah penerima Anugerah Kebudayaan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) 2022 akhirnya diumumkan.
Kepala daerah yang dipilih itu ditetapkan dalam rapat Tim Juri AK-PWI pada Jumat 3 Desember 2021 sore. Mereka yang diumumkan beragam usia, latar belakang suku, pendidikan, agama, budaya, partai, hingga masa kerja.
Ke-10 kepala daerah itu masing-masing, Wali Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat, Rahmat Effendi; Bupati Buton, Sulawesi Tenggara, La Bakry; Bupati Lamandau, Kalimantan Tengah, Hendra Lesmana; Bupati Indramayu, Jawa Barat, Hj. Nina Agustina; Wali Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu, H. Helmi Hasan; Bupati Lamongan, Jawa Timur, H.Yuhronur Efendi; Walikota Surakarta, Jawa Tengah, Gibran Rakabuming Raka; Wali Kota Padang Panjang, Sumatera Barat H. Fadli Amran (Datuak Paduko Malano); Bupati Magetan, Provinsi Jawa Timur, H. Suprawoto, dan Bupati Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, H. Musyafirin.
Selaku Penanggung Jawab Hari Pers Nasional (HPN) 2022, Ketua Umum PWI Pusat Atal S. Depari menyambut baik terpilihnya 10 nomine Anugerah Kebudayaan PWI (AK-PWI) tersebut. Sebagai bagian dari keseluruhan proses yang telah berlangsung sejak September lalu, hingga puncak HPN, 7-9 Februari 2022 nanti di Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) mendatang.
“Anugerah Kebudayaan PWI hanya salah satu dari sekian banyak mata acara HPN 2022, yang juga sedang berproses. Dalam bentuk konvensi, seminar, bakti sosial, klinik jurnalisme, penganugerahan, hingga penandatanganan kerja sama,” ujar Atal dalam keterangan persnya yang diterima redaksi Penasultra.id, Sabtu 4 Desember 2021.
Sementara itu, Ketua Pelaksana AK-PWI Yusuf Susilo Hartono mengatakan bahwa masing-masing kepala daerah tersebut dinilai berhasil dengan baik menarasikan dan memvisualkan pergulatan memenangkan kesehatan, berbasis informasi dan kebudayaan, guna mewujudkan perilaku baru.
Salah satu yang menarik, sebelum ada kebijakan prokes pandemi Covid-19, di antara daerah-daerah tersebut sudah memiliki “protokol warisan nenek moyang” dalam menghadapi wabah, yang dirawat dalam adat dan tradisi setempat.
Hal ini menunjukkan sekaligus bukti bahwa kebudayaan daerah itu memiliki “harta karun kultural” tersembunyi, yang seringkali dilupakan oleh pemiliknya sendiri, maupun pengambil keputusan yang nir kebudayaan.
Discussion about this post