Oleh: Hendrik
Era pasca kebenaran atau post truth saat ini menjadi fenomena umum di tengah perkembangan teknologi dan mudahnya masyarakat mengakses dan membagikan informasi di berbagai plattform media, yang tentu akan meningkatkan peredaran berita atau informasi palsu yang dapat menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat Indonesia yang multikultural.
Menurut Oxford Dictionaries, ‘post-truth’ diartikan sebagai istilah yang berhubungan dengan atau mewakili situasi-situasi di mana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibanding fakta-fakta yang obyektif. Sumber kompasiana.com.
Kini kita tengah memasuki era Post-Truth (pasca-kebenaran), masa dimana masyarakat menyerap informasi bukan lagi berdasar fakta dan kebenaran melainkan karena kepercayaan semata. Rasionalitas tidak lagi menjadi hal penting. Justru yang dikedepankan adalah faktor emosionalitas.
Post-truth ditandai dengan masifnya penyebaran hoaks ditengah masyarakat. Istilah post-truth pertama kali diperkenalkan Steve Tesich, keturunan Amerika- Serbia. Tesich melalui esainya pada harian The Nation (1992) menunjukkan kerisauannya yang mendalam terhadap perilaku politisi/pemerintah yang menurutnya dengan sengaja terus memainkan opini publik dengan mengesampingkan dan bahkan mendegradasi fakta dan data informasi yang objektif. Sumber media indonesia.com.
Derasnya arus informasi di media sosial membuat masyarakat semakin ikut terjebak dalam pusaran mis informasi dan dis informasi hal ini terjadi karena mudahnya informasi disebarkan diberbagai platform media dengan tujuan mempolarisasi masyarakat Indonesia yang heterogen dalam agama, suku dan budaya untuk tujuan politik.
Era Post-truth saat ini dibentuk oleh perkembangan teknologi yang memungkinkan setiap orang mencari kebenaran menurut pengalamannya sendiri. Bahkan post-truth secara khusus sering disamakan dengan propaganda dan disinformasi sehingga post-truth sering digunakan untuk menyebut pola kampanye dalam banyak pemilihan umum.
A. Propaganda Terselubung Era Post Truth
Propaganda di era post truth memuncak sebelum pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia pada tahun 2019, para simpatisan dua kompetitor yang bersaing saling melancarkan propaganda di berbagai plattform media.
Propaganda adalah suatu metode komunikasi atau pesan yang sistematis dan terencana yang disebarkan secara serempak dan berulang dengan tujuan untuk mengubah sikap, pendapat, perilaku seseorang atau kelompok dalam ajang kemiliteran, politik, ekonomi dan lain lain agar sesuai dengan kehendak komunikator yang melakukan propaganda. (Effendy.2017).
Propaganda dengan tujuan melakukan polarisasi di masyarakat dapat kita lihat menjelang pilpres, hal ini dapat dilihat dengan adanya produk politik yang dibangun untuk membentuk identitas yang berbau ejekan kepada kelompok yang berseberangan seperti cebong, kampret dan kadrun.
Pada tahun 1939 penerbit Harcourt, Brace and Company di Amerika serikat menyebarkan publikasi berjudul The Fine Art Of Propaganda yang mencantumkan apa yang dikenal dengan muslihat propaganda (Effendy:2017) yang diantaranya dapat mewakili situasi di Indonesia menjelang Pemilihan Umum 2019.
a) . Name calling (penggunaan nama ejekan)
Memberikan nama nama ejekan kepada suatu kelompok, bangsa dan ras agar khalayak menolak dan mencercanya tanpa mengkaji kebenaran contoh seperti panggilan cebong, kampret dan kadrun di media sosial.
b). Glittering generality (penggunaan kata kata muluk)
Kebalikan dari name calling teknik ini menggunakan kata-kata muluk dengan tujuan agar khalayak menerima dan menyetujui tanpa upaya memeriksa kebenarannya. Sebagai contoh adalah kata-kata keadilan dan kesejahteraan.
Discussion about this post