Oleh: AMR
Semut di seberang lautan terlihat, gajah di pelupuk justru tak tampak. Lawas sekali pepatah ini, tapi baru saja menampar hati saya. Beribu kisah kebaikan sudah pernah saya nukil. Berbagai tempat di negeri ini pernah saya kutip dalam banyak narasi.
Berkali-kali pula saya pulang kampung ke Kabaena, tapi kenapa saya tak pernah tahu bahwa di pulau itu sudah hadir rumah-rumah Quran, melahirkan para hafiz dan hafizah. Teranyar, retas pula pondok pesantren di lahan sekira dua setengah hektar.
Saya kian menyesal mengapa saya sangat terlambat mengenal sosok hebat dibalik lahirnya semua itu. Padahal, rumah Quran yang ia gagas dan dirikan sudah ada sejak 2018 lalu. Santrinya adalah remaja dan anak-anak. Pagi hingga siang mereka di sekolah, lalu malam hari belajar menghapal Alquran, tiga kali sepekan.
“Rumah Quran sekarang ini sudah berdiri di lima desa. Makin hari makin banyak santrinya,” sang penggagas mengisahkan itu ke saya.
Ia menyebut Teomokole, Rahadopi, Sikeli, Batuawu dan Langkema. Itu nama kelurahan dan desa dimana rumah quran itu berdiri. Tempat itu saya tahu dan berulang kali mampir sekadar ngopi di rumah kerabat bila saya sedang berada di Kabaena.
Saya bisa menulis soal Tangkeno, Sagori, perjalanan pekerjaan saya sebagai penyelenggara Pemilu di pulau itu, bisa-bisanya saya tidak tahu ada kisah yang jauh lebih elok untuk ditulis, di kampung saya sendiri.
Adalah Ustad Abdullah Fahmi Madjid yang jadi penyebab semua itu. Mubalig muda ini yang menginisiasi, bergerak dan menjalankannya. Saya baru mengenalnya, Minggu (17/10) tepatnya. Padahal, ia sudah sangat dikenal dibanyak tempat.
“Saya orang Kabaena asli Bang, orang tua orang Kabaena, istri orang Kabaena. Hanya saya lahir di Toli-toli, Sulawesi Tengah karena orang tua bekerja di sana saat itu,” terang Ustad Fahmi, kala kami berkenalan.
Saya benar-benar baru bertemu dengannya malam itu. Ihwalnya, hanya gara-gara postingan kawan saya, Arham Rasyid yang menulis tentang kajian di Masjid Raudattul Jannah, Kendari yang diisi seorang ustad jebolan Madinah dari Kabaena bernama Fahmi Madjid.
Saya yang merasa tahu banyak orang-orang hebat di Kabaena, kaget karena tidak pernah mendengar nama itu. Insting jurnalistik saya bergerak mencari tahu sosok ini, sekaligus mencari kontaknya. Saya harus bertemu dan ngobrol dengannya.
Usai mendapat kontaknya, saya menghubungi sang ustad. Saya mengenalkan diri sekaligus meminta waktu bertemu. Tahu apa balasan sang ustad?
“Kita Abdi yang di KPU itu to? Saya berdiri di sampingta waktu Pemilu. Saya lihat kita di TPS di halaman Rujab Camat,” katanya.
Ya Allah…kadang-kadang saya ini lupa kalau ada juga rupanya yang mengenal saya. Kami lalu janjian bertemu ba’da Isya di ICM, Kendari.
Makin istimewa lagi, saat kami bertemu ternyata saya diajak ngobrol di ruang kerja pemimpin ICM Kendari, Ustad Zezen Zainal Mursalin.
Dua jam saya di ruangan tesebut, bercerita banyak hal dengan Ustad Fahmi sembari sesekali mendengar juga kisah-kisah seru dari Ustad Zezen. Ketika berada di hadapan dua orang alim dan berilmu, aura mereka memang beda. Bercahaya sekali, beda dengan wajah saya.
Di ICM itulah saya tahu jika ustad Fahmi benar-benar dari Kabaena. Pendidikan dasar dan menengah pertamanya ia selesaikan di Toli-toli. Setelahnya ia ke Malang, belajar di Pesantren Daruttauhid.
View this post on Instagram
Dari Malang, ia hijrah ke Jakarta, menimba ilmu di Lembaga Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), lembaga di bawah naungan Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud Riyadh. Dari Jakarta, ia kemudian memperdalam ilmu agamanya untuk level setingkat magister di kampus Islamic University of Madinah.
Discussion about this post