Oleh: Khaziyah Naflah
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sultra Agnes Widiastuti mengumumkan jika Sulawesi Tenggara (Sultra) mengalami peningkatan ekonomi pada triwulan I 2022 sebesar 5,07 persen dibanding periode yang sama tahun 2021.
Ia mengatakan, dari sisi produksi, lapangan usaha jasa lainnya mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 9,53 persen. Sedang dari sisi pengeluaran, komponen lembaga non profit yang melayani rumah tangga mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 6,65 persen.
“Ekonomi Sultra pada triwulan I 2022 mengalami kenaikan pada sebagian besar lapangan usaha,” ucapnya dalam rilis persnya yang diterima pada Rabu (11/5/2022) (zonasultra.com, 11/05/2022).
Tak dipungkiri jika selama dua tahun terakhir perekonomian Indonesia memang sedang terguncang akibat pandemi Covid-19, tanpa terkecuali daerah Sultra. Sehingga adanya kabar meningkatnya perekonomian Sultra seakan menjadi kabar gembira bagi rakyat.
Namun lagi-lagi, benarkah hal ini menjadi kabar gembira bagi daerah Sultra ataukah justru hanya sebuah mimpi? Sebab, hal ini seakan kontradiktif terhadap apa yang terlihat di lapangan, yakni masih tingginya angka pengangguran dan kemiskinan.
BPS Sultra menyebutkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) hingga pada Februari 2022 sebesar 3,86 persen, naik 0,76 persen poin dibandingkan dengan Februari 2020 atau turun 0,36 persen poin terhadap Februari 2021 (antarasultra.com, 10/05/2022).
Sedangkan kemiskinan, BPS Sultra mencatat, persentase penduduk miskin pada September 2021 naik menjadi 11,74 persen. Persentase penduduk miskin pada September 2021 sebesar 11,74 persen, meningkat 0,08 persen poin terhadap Maret 2021 dan naik 0,05 persen poin terhadap September 2020 (rri.co.id, 17/01/2022).
Walaupun tingkat pengganguran menurun, namun hal ini belum membuktikan jika pengangguran berada pada level yang baik.
Apalagi ditambah dengan berbagai kebijakan pemerintah yang menaikkan PPN menjadi 11% dan kebijakan lainnya seperti kenaikan BBM, LPG non subsidi, listrik yang semakin memicu bahan pokok ikut mengalami kenaikan dan hal ini jelas berimbas pada beratnya beban hidup rakyat.
Sungguh hal yang kontradiktif, bagaimana bisa suatu daerah diklaim mengalami perbaikan perekonomian sedangkan pengangguran dan kemiskinan masih berada pada garis bawah. Klaim perekonomian membaik seakan hanya sebuah mimpi bagi rakyat negeri ini. Sebab, negeri ini mengunakan kacamata kapitalis dalam mengukur taraf hidup kesejahteraan rakyatnya.
Dalam pandangan sistem kapitalis, pertumbuhan ekonomi didasarkan pada terjadinya peningkatan transaksi perdagangan dan hasil riil di lapangan. Kemudian, didasarkan juga pada nilai produk domestik bruto atas dasar harga konstan per kapita.
PDB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar. Sedangkan PDB dan PNB per kapita atas dasar harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan nyata ekonomi per kapita penduduk suatu negara (bps.go.id).
Hal ini menunjukkan jika pertumbuhan ekonomi tidak dilihat dari perekonomian perindividu rakyat, melainkan dari rata-rata. Sehingga, ketika rakyat mengalami kesulitan dalam membeli bahan pokok dan dalam pembiayaan hidupnya, maka tidak akan mempengaruhi kuantitas pertumbuhan ekonomi.
Begitu juga dengan besaran gaji yang diterima oleh pegawai, bukan menjadi landasan dalam perhitungan statistik pertumbuhan perekonomian suatu daerah.
Discussion about this post