Oleh: Suryono, SIS, SpOG
Siapa yang tak kenal Kartini? Sosok pahlawan pembela kaum perempuan yang perjuangannya tidak hanya menyentuh persoalan yang kita pahami sebagai kesetaraan gender. Terlahir sebagai anak keluarga bangsawan, Kartini berupaya mendobrak hambatan struktural dan kultural yang menyebabkan kaum perempuan di masanya terpinggirkan.
Perjuangannya agar perempuan memiliki kesempatan dan hak yang sama dalam mengenyam pendidikan salah satunya ia wujudkan dengan mendirikan sekolah bagi anak perempuan. Namun sayang, Kartini wafat di usia yang terbilang muda, 25 tahun, tepatnya pada tanggal 17 September 1904. Ia meninggal 4 (empat) hari setelah melahirkan putra tunggalnya.
Beberapa literatur menyebutkan Kartini meninggal disebabkan pre-eklamsia, suatu kondisi dari komplikasi kehamilan yang ditandai peningkatan tekanan darah tinggi serta gangguan kesehatan lainnya.
Perempuan Masih Terpuruk
Sudah 119 tahun berlalu sejak wafatnya Kartini, kondisi perempuan Indonesia masih saja terpuruk terutama dalam hal derajat kesehatan. Hal ini dilihat dari masih tingginya angka kematian ibu (AKI) di Indonesia.
Berdasarkan data SUPAS 2015, AKI di Indonesia mencapai 305/100.000 kelahiran hidup. Wafatnya Kartini mengingatkan kita bahwa kematian ibu merupakan persoalan serius yang sudah ada sejak zaman dahulu hingga saat ini.
Dalam surat Kartini pada Oktober 1901 yang ia tulis untuk sahabat penanya Estella Zeehandelaar, Kartini menceritakan setiap tahun ada sekitar 20 ribu perempuan meninggal saat melahirkan dan 30 ribu anak lahir meninggal karena pertolongan bagi perempuan bersalin yang kurang memadai.
Rendahnya capaian penurunan AKI di Indonesia menimbulkan rasa pesimis dari kalangan pemerhati kesehatan perempuan, Indonesia akan bisa mencapai target RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) sebesar 183/100.000 kelahiran hidup pada 2024 dan target Sustainable Development Goals (SDGs) sebesar 70/100.000 kelahiran hidup yang menjadi komitmen global.
Discussion about this post