Oleh: La Ode Agus Salim Mando
Hutan sebagai salah satu sumberdaya alam Nasional memiliki manfaat secara ekologi, sosial budaya, dan ekonomi. Agar dapat diperoleh aneka manfaat dari keberadaan hutan, maka perlu diselenggarakan secara seimbang, dinamis, dan berkelanjutan.
Namun, kenyataannya kondisi hutan di Negeri ini dari masa ke masa semakin menunjukkan penurunan baik dari aspek kuantitas maupun kualitas.
Penurunan kekayaan sumberdaya hutan Indonesia dari aspek kuantitas dapat tergambarkan melalui laporan Badan Pusat Statistik, bahwa luas tutupan hutan Indonesia sudah berkurang 956.258 hektare (ha) selama periode 2017-2021, sehingga total luas hutan Indonesia tersisa sekitar 101.215.183 Ha yang berbeda siginifikan dengan data luas hutan pada tahun 2012 yakni 133.574.000 Ha.
Dari aspek kualitas, penuruan kemampuan hutan untuk mencegah banjir, mengendalikan erosi, menjaga kesuburan lahan, menjaga keanekaragaman flora dan fauna, dan lain-lain, juga semakin nyata dengan munculnya berbagai musibah dimana-mana.
Sumberdaya hutan Indonesia mulai dimanfaatkan secara ekonomis untuk menyokong pertumbuhan devisa sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 tahun 1967 yang mengatur tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.
Selanjutnya pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1967 tentang Kehutanan. Berlakunya ketiga undang-undang tersebut dan ditambah dengan Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan merupakan babak baru terjadinya proses kerusakan hutan di luar Jawa yang berlanjut sampai sekarang.
Dalam beberapa dekade terakhir ini, hak pengusahaan hutan telah termanifestasikan dalam beberapa bentuk perizinan yaitu Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK HA/HT/HTR/HKM).
Beroperasinya IUPHHK diikuti dengan anjuran pemberlakukan pemerintah untuk sertifikasi pengelolaan hutan produksi lestari dan legalitas kayu. Tujuannya untuk menjaga kelestarian hutan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009 tanggal 12 Juni 2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin atau Pada Hutan Hak.
Peraturan tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.6/VI-Set/2009 tanggal 15 Juni 2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu.
Sedangkan sebagai pedoman pelaksanaannya, pemerintah menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.02/VI-BPPHH/2010 tanggal 10 Februari 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu. Namun, pada pelaksanaannya sertifikasi tersebut tidak berlaku wajib bagi setiap unit manajemen.
Sehingga para pelaku bisnis atau unit manajemen tidak semua melaksanakan verifikasi pengelolaan hutan produksi lestari dan legalitas kayu yang pada akhirnya illegal logging masih terus berlanjut.
Nampaknya, kondisi pengelolaan hutan zaman sekarang, tidak seindah yang terdengar dari sejarah pengelolaan hutan era kompeni Hindia Belanda.
Pencapaian paling mengagumkan dari pengelolaan hutan dikala itu adalah dengan terbangunnya hutan jati seluas 1 (satu) juta hektar di Pulau Jawa yang masuk kategori Bonita 3 (Kelas Produktif).
Prestasi yang demikian gemilang tersebut belum pernah ditorehkan oleh anak negeri sampai sekarang ini. Mengapa hal tersebut terjadi? Inilah yang patut untuk dikaji dan menjadi perhatian bersama.
Hutan di Jawa dahulu dikelola oleh Djatibedrijfs (perusahaan jati) yang merupakan badan hukum milik Negara Hindia Belanda, dimana setara dengan Perhutani sekarang ini. Secara kelembagaan Djatibedrijfs mengorganisir unit manajemen hutan berupa Houtvesterij sama dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dewasa ini.
KPH pada zaman Belanda dan sekarang khusus di Jawa hampir dibilang tidak berbeda jauh, karena berada di bawah Perusahaan Negara yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pengelolaan hutan secara totalitas, termasuk pengaturan keuntungan finansial dan kelestarian hutan.
Hal ini tentu berbeda dengan pembentukan KPH di Luar Jawa yang terkesan kaku atau hanya sebagai fasilitator dari berbagai kegiatan kehutanan maupun non kehutanan.
Awalnya pembentukan KPH membawa angin segar bagi wajah pengelolaan hutan di Indonesia terutama di luar Jawa. Pembangunan KPH merupakan implementasi dari Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur sumberdaya hutan.
Discussion about this post