Oleh: Rusdianto Samawa
Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Pusat Hidrografi dan Oseanografi (Pushidros) TNI AL tahun 2015 merilis data luas Indonesia; perairan laut dalam dan perairan kepulauan sebesar 3.110.000 km2; Luas laut teritorial sekitar 290.000 km2; Luas zona tambahan sekitar 270.000 km2. Luas ZEE 5,74 juta km2. Terbagi dalam 11 WPPNRI, dengan potensi Sumber Daya Ikan (SDI) yang diizinkan untuk ditangkap sesuai nilai Maximum Sustainable Yield (MSY) yang ditentukan Komnas Kajiskan sebanyak 12,94 juta ton.
Luas landas kontinen Indonesia perkirakan 2.800.000 km2; Luas total perairan Indonesia adalah 6.400.000 km2; Luas NKRI (darat + perairan) yakni 8.300.000 km2. Panjang garis pantai Indonesia adalah 108.000 km. Kemudian, jumlah pulau di Indonesia kurang lebih 17.504 dan yang sudah dibakukan dan di submisi ke PBB sejumlah 16.056 pulau. Dari luas daratan Indonesia sebesar 1.919.440 km², yang terdiri dari 17.508 pulau. Dari ujung ke ujung, Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil. Lautan Indonesia memiliki batas 12 mil laut serta zona ekonomi eksklusif 200 mil.
Wilayah Indonesia berbatasan dengan sejumlah wilayah negara maupun wilayah samudra yakni: Sebelah utara: Malaysia, Singapura, Filipina dan Laut Cina Selatan. Kemudian, Sebelah Selatan: Timor Leste, Australia, Samudra Hindia. Lalu, Sebelah Barat: Samudra Hindia dan Sebelah Timur: Papua Nugini dan Samudra Pasifik.
Produksi penangkapan ikan Indonesia dalam kurun waktu 2020-2023 ada peningkatan pada angka rata-rata 7,61 persen setiap tahun. Angka BPS menyebutkan, nilai produk domestik bruto (PDB) perikanan pada triwulan II sebesar Rp188 triliun atau 2,83% terhadap nilai PDB nasional. Nilai PDB tersebut mengalami kenaikan dibandingkan dengan triwulan I sebesar Rp109,9 triliun atau 2,77% terhadap nilai PDB nasional.
Kalau dari BPS ada perbedaan angka dengan KKP dalam perolehan obyek PNBP yang berasal dari pengambilan Sumber Daya Ikan (SDI) berupa pungutan hasil perikanan (PHP) rata-rata sekitar 73 persen terhadap total PNBP KKP, yaitu Rp491,03 miliar (2017), dan Rp448,03 miliar (2018). Capaian tersebut masih dibawah target yang ditentukan, yaitu Rp950 miliar (2017) dan Rp600 miliar (2018). Capaian total PNBP tahun 2019 sebanyak Rp521,37 miliar. Hingga 24 November 2020, PNBP yang diterima telah mencapai Rp551,12 miliar.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) 2021-2024 menargetkan PNBP Rp1,6 triliun keatas. Target ini, hingga tahun 2024 ini belum tercapai. Penyebab gagalnya kenaikan peroleh PNBP itu karena daya tolak nelayan sangat kuat. Selain itu, sistemnya sangat memberatkan dan penuh ketidakadilan.
Data yang dipublikasikan KKP, capaian PNBP pada 2014 masih Rp267,4 miliar, 2015 sebesar Rp193,68 miliar, 2016 sekitar Rp553,41 miliar, 2017 sejumlah Rp711,88 miliar, 2018 mencapai Rp772,44 miliar, 2019 naik menjadi Rp792,5 miliar, dan 2020 tembus Rp857,3 miliar. Lalu, pada 2021 meningkat menjadi Rp995,74 miliar, 2022 melesat menjadi Rp1,87 triliun, dan tahun ini sementara telah terealisasi Rp1,41 triliun. Angka tersebut belum mengalami kenaikan. Malah dianggap tekor 70% akibat pembiayaan dan pengalihan ke pembiayaan infrastruktur.
Persentase capaian PNBP tahun 2020 sebesar 61,21% dari target yang telah ditetapkan Rp900,35 miliar. Meningkat perolehan PNBP tetapi masih jauh dibawah target. Prediksi persentase capaian 2021 sekitar Rp281 triliun. Begitu, penyampaian Menteri KKP. Tetapi, sangat naif dan penuh halusinasi dari 61,21% ke 400% sungguh luar biasa. Jagoan menteri KKP kalau bisa.
Regulasi Harga Acuan Ikan Berubah-Ubah
Pasangan AMIN melihat, mengamati dan membaca secara seksama, bahwa regulasi Harga Patokan Ikan (HPI) yang ditetapkan pemerintah selalu berubah-ubah. Dalam satu tahun terakhir, ada 3 kali perubahan regulasi.
Perubahan regulasi seperti ini melemahkan usaha dan kegiatan para nelayan dalam mendistribusikan hasil tangkapannya. Berubah-ubah regulasi berdampak pada ketimpangan dan ketidakadilan pada sektor pasar-pasar yang menampung hasil tangkapan nelayan.
Dampak lain, terjadinya hambatan peningkatan ekspor hasil tangkapan nelayan. Betapa tidak? seluruh sektor usaha yang mengambil hasil tangkapan nelayan, mengacu pada harga patokan dasar di nelayan. Kalau regulasi terus berubah, artinya tidak ada kepastian usaha. Padahal pemerintah memiliki tanggungjawab penuh dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan perdagangan hasil tangkapan para nelayan.
Perubahan yang terjadi dalam 5 tahun terakhir sangat drastis dan cepat. Regulasi Harga Patokan Ikan (HPI) dalam setahun bisa 3-5 kali perubahan dalam bentuk Peraturan Menteri (Permen) atau Kepmen.
Kita mulai membaca bahwa regulasi berubah – ubah itu terjadi, begitu cepat, mulai dari Kepmen No 97 tahun 2021 tentang Harga Patokan Ikan (HPI) untuk penghitungan Pungutan Hasil Perikanan (PHP). Kepmen ini sebagai turunan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Penetapan Kepmen ini, dasarnya pada Pasal 17 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Terbitnya Kepmen tersebut, reaktualisasi persentase PNBP dan PHP.
Atas ketidakmampuan KKP dalam mengelola Harga Patokan Ikan (HPI), kemudian regulasi tersebut berubah kepada Kepmen No 21 Tahun 2023 tentang Harga Patokan Ikan (HPI). Penetapan Nilai Produksi Ikan dalam Kepmen No 21 Tahun 2023, ternyata saat didaratkan mengalami hambatan dalam implementasi khususnya terkait hitungan nilai produksi ikan pada saat didaratkan dan panjangnya proses bisnis pendaratan ikan di pelabuhan pangkalan.
Kelemahan KKP ini belum disadari bahwa perubahan regulasi seperti ini dapat tumbuh dan berkembang blackmarket di pasar-pasar maupun proses penyerapan hasil tangkapan ikan dari nelayan.
Untuk mengatasi hambatan penghitungan nilai produksi ikan dirubah lagi regulasinya kepada bentuk peraturan menteri No 1 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penetapan Nilai Produksi Ikan pada saat didaratkan, Harga Acuan Ikan adalah harga ikan yang ditetapkan untuk komponen penghitungan Nilai Produksi Ikan pada saat didaratkan.
Discussion about this post