Oleh: Rusdianto Samawa
Visi misi Pasangan AMIN dalam dokumennya pada No. 28 Simpul Kesejahteraan seputar nelayan, tertera pada item 19 tentang “Kapal Pencuri Ikan Ilegal Ditangkap dan Disanksi Berat.” Artinya, visi misi pasangan AMIN komitmen berantas tindakan kriminal di laut yang inilah dikenal istilah Illegal, Unreported dan Unregulated Fishing (IUU Fishing) yaitu kegiatan penangkapan ikan yang tidak sah, penangkapan ikan yang tidak dilaporkan, dan penangkapan tidak sesuai aturan.
Bagi ketiga komponen berantas ilegal fishing, pasangan AMIN tegaskan, “Kapal Pencuri Ikan” merupakan Kapal Asing. Bukan kapal nelayan Indonesia. Kalau wilayah Over Fishing, berarti dalam negeri dengan kebijakan manajemen alat tangkap yang ramah lingkungan. Kemudian, Unreported Fishing yakni penangkapan ikan dengan cara bombing atau bom ikan. Persoalan Unreported sendiri tidak dibenarkan dalam sistem negara manapun. Karena itu, merusak dan tak memiliki kearifan dalam menjaga sumberdaya hayati maupun sumberdaya ikan.
Jadi harus dibedakan dari ketiga paradigma pemberantasan ilegal fishing diatas. Supaya kedepan, tak ada lagi justifikasi alat tangkap nelayan yang merusak dan bersifat larangan. Pemerintah harus mengatur tata kelola alat tangkap yang ramah lingkungan. Pentingnya lagi, penegakan hukum terhadap alat tangkap nelayan, tidak lagi bersifat Koboy: ancam mengancam, memeras, penembakan dan menangkap tanpa prosedur hukum yang jelas.
Sejarah, Perjalanan dan Paradigma Berantas Illegal Fishing
Kesalahan yuridis regulasi pemerintah yakni tidak terdapatnya pertimbangan dasar hukum seperti UU TNI, UU Pertahanan, UU Perikanan, UU Keamanan, UU Kepolisian RI, UU Kejaksaan, UU Kelautan, UNCLOS 1982, dan UUD 1945. Aneh bin ajaib setiap regulasi berantas Illegal Fishing selama dalam sejarah, perjalanan dan paradigmanya, sehingga dalam pelaksanaan kegiatan berantas Illegal Fishing sesuai keinginan, kepentingan dan kemauan. Padahal dalam evaluasinya berantas IUUF selalu disclaimer dan dijadikan lahan bisnis paradigma lingkungan.
Dalam debat ketiga Capres, Anies Baswedan ungkap bahwa negara kebobolan atas kerakusan pencuri ikan dan pencuri pasir. Artinya, pemerintah perlu evaluasi kinerjanya dalam berantas illegal fishing. Salah satu kelemahan pemerintah yakni pembuatan regulasi tanpa dialog dengan stakeholders sehingga kebuntuan dan kerancuan selalu terjadi dalam berbagai kegiatan berantas ilegal fishing.
Kefatalan dalam pembuatan regulasi berantas IUUF tidak menimbang faktor kebutuhan. Seringkali memaksa aspek logika penegakan hukum murni sehingga terkesan monoton dan teoritis yang dangkal (baca: Rusdianto, Dialogis Policy of Dialogue – Dialog Kebijakan).
Kalau regulasi IUUF itu, berprinsip selamatkan laut terhadap stakeholders kelautan dan perikanan, maka dampak terjadi dehumanisasi terhadap masyarakat pesisir dan mematikan unsur usaha ekonomi secara sekaligus. Memang, regulasi harus mengatur 3 hal yakni over fishing, destructive fishing dan ilegal fishing. Tentu, regulasi itu bersifat humanis.
Regulasi humanistik dalam penegakan hukum proses berantas IUUF harus pertimbangkan: pertama, praktek kejahatan IUUF di bidang perikanan telah merusak sumber daya perikanan, ekosistem laut, perekonomian, dan sosial masyarakat sehingga perlu ditangani secara humanistik terpadu.
Kedua, pemerintah kedepan harus fokus koordinasi dengan kementerian/lembaga negara seperti Bakamla, TNIAL, Polri, KPK, Komnas HAM dan Kejaksaan sehingga memiliki standar humanistik.
Ketiga, untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan berantas Ilegal Fishing, perlu menyusun Standar Operasional Prosedur Penegakan Hukum Humanistik sehingga dalam pelaksanannya tidak terkesan pelanggaran HAM dan bersifat humanitarian.
Pengalaman pemerintah selama 5 tahun pertama rezim (2014-2019), pernah ada Satgas 115 sebagai Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal (Ilegal Fishing). Namun, dalam berbagai pelaksanaan terdapat banyak kekeliruan yang terkesan abai terhadap keadilan.
Regulasi Satgas 115 dianggap melanggar konstitusi. Karena mestinya kewenangan Presiden, bukan wewenang kementerian terkait. Mestinya Satgas 115 itu sesuai hirarki dan mekanisme penyusunan peraturan perundang-undangan. Selain itu, paling krusial yakni penetapan pola penganggaran yang mestinya diatur bersama dalam siklus APBN. Bukan, pengelolaan Satgas bersumber dari dana hibah dan sumbangan sukarela pengusaha.
Esensi penegakan hukum tindak pidana kelautan perikanan dan berantas Ilegal Fishing (IUUF) yakni: pertama, selaraskan kedudukan nelayan dalam unsur keadilan sehingga proses penegakan hukum mendapat objektifitas. Masalah paling rumit, tak bisa mengartikan esensi berantas IUUF yang sering generalisasi seluruh alat tangkap nelayan merusak. Sebagaimana yang terjadi pada banyak nelayan yang distigmatisasi sebagai pelanggar konservasi sumber daya kelautan perikanan (alat tangkap tak ramah lingkungan).
Kedua, makna berantas ilegal fishing bukan pada area dalam negeri. Tetapi area Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antar negara terhadap nelayan pencuri ikan yang memakai kapal asing. Kalau zona penangkapan (WPPNRI) terjadi over fishing dan Unreported yang merupakan bagian dari berantas Ilegal fishing, maka terdapat pola-pola humanistik yang diterapkan seperti: dialog, pembinaan, penyidikan, penyelidikan dan penegakan hukum sesuai standar KUHP dan KUHAP.
Kegiatan penegakan hukum tindak pidana perikanan dilaksanakan melalui dua cara, yaitu pencegahan dan penanganan kasus tindak pidana perikanan yang dikategorikan ke dalam tiga tahapan yaitu penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan. Tahapan inilah yang disebut sistem peradilan pidana terpadu.
Penyidikan dalam sistem peradilan pidana perikanan sesuai cara yang diatur dalam undang-undang perikanan. Bertujuan membuktikan dan membebaskan serta menemukan pelakunya (Pasal 1 Angka 2 KUHAP). Dalam kerangka sistem peradilan pidana, peran aparatur penegak hukum, khususnya penyidik, sangat strategis. Penyidik merupakan pintu awal dimulainya tugas pencarian kebenaran materil dalam upaya penegakan hukum.
Kegiatan penyidikan tindak pidana perikanan sesuai dengan tercantum dalam Pasal 73 UU Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 45 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU Perikanan) menjelaskan bahwa penyidikan tindak pidana perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), perwira TNI AL, dan/atau pejabat Polri.
Secara terminologi PPNS Perikanan menurut PP Nomor 58 Tahun 2010 Pasal 1 angka 6, adalah pegawai negeri tertentu sebagaimana disebutkan dalam KUHAP, baik yang berada di pusat maupun di daerah yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, dalam hal ini wewenang dalam penanganan tindak pidana perikanan.
PPNS Perikanan merupakan salah satu trisula dalam memperkarakan tindak pidana perikanan sebagaimana yang tertuang dalam UU Perikanan pada pasal 73A, penyidik memiliki 12 kewenangan, yaitu: 1). menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang perikanan; 2). memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya.
3). membawa dan menghadapkan seseorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya; 4). menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga digunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan; 5). menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan; 6). Memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan.
7). memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan; 8). mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan; 9). membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan; 10). melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana; 11). melakukan penghentian penyidikan; dan 12). mengadakan tindakan lain yang menurut hukum dapat dipertanggungjawabkan.
Discussion about this post