Oleh: Irwan Harefa
Bulan Maret setiap tahunnya merupakan bulan sibuk bagi aparat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan wajib pajak. Hal ini terkait dengan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP) yang jatuh pada tanggal 31 Maret setiap tahunnya.
Bila terlambat, ada sanksi yang harus ditanggung wajib pajak sesuai ketentuan dan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Kewajiban melaporkan SPT Tahunan ini banyak mendapat kritik bahkan protes dari para wajib pajak di media sosial. Wajib pajak mempertanyakan, mengapa mereka yang sudah membayar pajak, masih dibebani kewajiban melaporkan SPT.
Ada yang berpendapat justru DJP yang seharusnya memberikan laporan pertanggungjawaban kepada Wajib Pajak.
Beberapa akun di media sosial X (Twitter) menuliskan pendapatnya tentang kewajiban melaporkan SPT Tahunan, seperti: “Sudah bayar pajak, kita juga yang disuruh untuk melaporkan pajak yang sudah kita bayarkan dengan proses yang rumit itu”, “masih tidak mengerti sama konsep ‘kita yang bayar, kita yang disuruh lapor, kayaknya semua pembayaran lain, justru kita yang bisa minta riwayat pembayaran, aneh!.”
Ada juga yang menuliskan: “Sistem lapor pajak memang aneh, kita disuruh bayar pajak, sudah bayar bukannya seharusnya kita yang diberi laporan pertanggungjawaban, malah kita yang harus lapor dan di denda kalau terlambat lapor.”
Ada banyak komentar serupa yang intinya masyarakat merasa bingung dengan aturan yang mewajibkan wajib pajak masih harus melaporkan SPT setiap tahun, padahal mereka sudah memenuhi kewajibannya membayar pajak.
Dari beberapa komentar di media sosial X tersebut, sepertinya memang masih banyak masyarakat yang belum sepenuhnya memahami hak dan kewajiban perpajakannya. Masih banyak masyarakat khususnya wajib pajak yang belum sepenuhnya memahami latar belakang dan alasan mengapa mereka harus melaporkan SPT Tahunan.
Konsekuensi Sistem Self Assessment
Pertanyaannya adalah, apakah wajib pajak bisa dibebaskan dari kewajiban melaporkan SPT, baik SPT Masa maupun SPT Tahunan? Jawabannya tentu saja bisa, bahkan sangat bisa.
Namun, hal ini sudah pasti mengharuskan adanya perubahan UU Perpajakan dan kembali ke sistem perpajakan lama sebelum adanya reformasi perpajakan tahun 1983, dimana saat itu sistem perpajakan Indonesia masih menganut prinsip official asseement.
Discussion about this post