Padahal, jika mau dirunut pada proses pengusulan Pj Bupati oleh Pemprov Sultra, maka hal itu sudah bisa dipastikan telah melewati tahapan seleksi yang cukup ketat oleh Tim Pemprov dan Gubernur dalam hal ini.
Bahkan, nama-nama yang telah diusulkan sebelumnya, semua telah memenuhi syarat kepangkatan sebagai calon Pj Bupati yakni berasal dari pejabat Pimpinan Tinggi Pratama Lingkup Pemprov Sultra atau minimal berpangkat Eselon II.
Dari informasi yang sempat beredar, sejak beberapa waktu lalu Pemprov Sultra sudah menyeleksi kurang lebih 50 pejabat pimpinan tinggi pratama lingkup Pemprov dan daerah sehingga mengerucut pada tiga nama calon Pj Bupati untuk masing-masing kabupaten yang mengalami kekosongan kepemimpinan daerah di Sultra.
Untuk itu, sangat wajar bila Gubernur Sultra, merasa keberatan akan hasil penetapan sepihak oleh Kemendagri, yang seolah-olah mengabaikan kerja-kerja Gubernur terkait pengusulan Pj Bupati saat ini.
Langkah yang diambil Ali Mazi yang menunda pelantikan dua Pj Bupati dan merasa perlu mendapatkan klarifikasi langsung ke Mendagri terkait hal ini, perlu kita apresiasi bersama.
Hal ini penting, karena merupakan tanggung jawab besar Gubernur Sultra selaku wakil pemerintah pusat yang paham betul akan kebutuhan kepemimpinan daerah dan dinamika masyarakat Sultra khususnya di dua daerah kabupaten yang sementara mengalami kekosongan Kepala Daerah.
Kenapa demikian? Karena bisa jadi proses penunjukkan Pj Bupati, bukan saja di Sultra bahkan di seluruh Indonesia oleh Kemendagri, bukan tanpa ada masalah atau kekeliruan dalam proses penetapannya. Toh, bukan saja Gubernur Sultra orang yang pertama yang mengambil langkah menolak sementara waktu untuk melantik Pj Bupati di daerahnya yang telah ditetapkan oleh Mendagri.
Sebelumnya, langkah ini sudah dilakukan oleh Gubernur Provinsi Maluku Utara Abdul Gani Kasuba yang menolak melantik Pj Bupati di daerahnya di Kabupaten Pulau Morotai 17 Mei yang lalu, diakibatkan bukan merupakan usulan Gubernur.
Hal ini terjadi karena masih ada ruang perdebatan tentang regulasi yang jelas mengenai mekanisme pengisian Penjabat Kepala Daerah yang sudah berakhir masa jabatannya sebelum dilangsungkannya Pemilukada serentak di tahun 2024 nanti.
Jika kita merujuk Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah terkait pengangkatan Pejabat Bupati/Walikota, hanya mengisyaratkan bahwa Penjabat (Pj) Bupati diusulkan maksimal tiga nama oleh Gubernur, yang selanjutnya akan dipilih salah satunya oleh Mendagri dan Tim Penilai Akhir (TPA) Kemendagri untuk selanjutnya ditetapkan dengan Surat Keputusan (SK) sebagai Penjabat Bupati.
Artinya, penunjukkan langsung Pj Bupati oleh Mendagri tanpa memperhatikan nama-nama usulan dari seorang Gubernur dalam hal ini, masih multi tafsir dan masih dianggap lemah.
Hal ini dikarenakan belum adanya produk hukum turunan yang mengatur secara jelas mengenai pengangkatan Pj Bupati di daerah, bisa atau boleh tanpa usulan Gubernur walaupun eksekutor penetapan akhirnya ada di SK Mendagri. Hal ini penting untuk dikritisi sehingga diharapkan nantinya ada aturan main yang jelas mengenai pengangkatan Penjabat daerah yang tidak melanggar aturan UU yang ada diatasnya.
Lebih jauh lagi, hal ini perlu memperhatikan asas kenetralan Kemendagri agar jauh dari titipan kepentingan politik segelintir pihak.
Patut kita ilhami bahwasanya, proses pengangkatan Pj Bupati yang dilakukan sejak tahun 2022 hingga awal tahun 2024 nanti, bukan saja berkutat pada proses administrasi semata bahwa siapa bakal calon yang dapat memenuhi syarat administrasi untuk mengisi kekosongan Pejabat (Pj) Kepala Daerah, akan tetapi tidak akan terlepas dari proses politik yang menyertainya, terlebih bila ingin dikaitkan dengan kepentingan politik 2024 nantinya.
Selain itu, yang tak kalah pentingnya prosesnya pengangkatan Pj Bupati di daerah seyogyanya dilakukan secara demokratis dengan tetap memperhatikan rekam jejak masing-masing calon Pj yang diusulkan sehingga lebih transparan pada publik di daerah.
Namun demikian, hal ini bukan berarti nama yang ditetapkan oleh Kemendagri bukan figur yang tidak layak pula. Mungkin saja, ada kemungkinan pertimbangan lain yang diambil oleh Kemendagri terkait Pj di daerah yang sudah ditetapkan.
Apapun itu, polemik akan hal ini sudah terlanjur bergulir dan khususnya untuk publik Sultra menginginkan polemik penunjukkan Pj Bupati Muna Barat dan Buton Selatan yang masih tertunda prosesnya, jauh dari syarat kepentingan politik pragmatis dan tetap mengacu pada prosedur yang benar dan baik. Semoga…(***)
Penulis: Pengamat Politik/Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Publik Sultra
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post