Oleh: Teti Ummu Alif
Menjelang akhir tahun 2021 ini Presiden Joko Widodo kembali menegaskan komitmen pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah pada tahun 2024 mendatang. Demikian sambutan kepala negara pada peresmian pembukaan Kongres Ekonomi Umat Ke-2 Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2021 yang digelar di The Sultan Hotel and Residence, Jumat (10/12) seperti dilansir kontan.co.id.
Ambisi pemerintah tersebut bukanlah tanpa alasan. Mengingat Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Jumlah penduduk muslim di Indonesia mencapai 207 juta jiwa atau 87% dari total penduduknya. Oleh karena itu, pemerintah akan berupaya keras untuk terus mengembangkan sejumlah sektor seperti: industri halal, sektor keuangan syariah, sektor keuangan sosial syariah, hingga kewirausahaan syariah.
Ekonomi syariah Indonesia saat ini berada di peringkat keempat di dunia, meningkat dari posisi ke-9 pada tahun 2014 lalu. Presiden memperkirakan bahwa dalam tiga hingga empat tahun ke depan, ekonomi syariah Indonesia akan berada pada posisi dua besar. Terlebih, sejak 1 Desember 2021 Indonesia telah memegang presidensi G20. Artinya, Indonesia memimpin kelompok negara-negara maju dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang masuk dalam 20 besar dunia.
Tak bisa dipungkiri bahwa geliat kebangkitan ekonomi syariah seakan menjadi primadona baru bagi perekonomian global. Kehadirannya bagaikan angin segar bagi dunia di tengah fakta ketidakadilan ekonomi saat ini. Sehingga, ekonomi syariah diharapkan bisa menjadi alternatif sistem ekonomi yang tangguh dalam menghadapi berbagai macam krisis. Namun, masalahnya ekonomi syariah yang pesat malah hadir dalam bingkai sistem ekonomi kapitalisme.
Mampukah ekonomi syariah ala kapitalisme memberi solusi? Akankah membawa keberkahan bagi negeri ini?
Jika dicermati, apa yang disebut sebagai sektor ekonomi atau usaha syariah, sebetulnya hanya merujuk pada label semata bukan pada sistem. Sehingga kebijakan yang direkomendasikan sebagai upaya peningkatan peran sektor ekonomi syariah selalu merujuk pada hal-hal cabang bukan pada penerapan prinsip-prinsip syariah secara keseluruhan. Sebab, bicara sistem ekonomi syariah tak bisa lepas dari asas negara. Juga terkait kebutuhan akan support system dari aspek-aspek yang lainnya, seperti sistem politik, sistem moneter, sistem sanksi, politik luar negeri, dan sebagainya. Artinya menegakkan sistem ekonomi syariah mengharuskan semua aspek sama-sama berdasar syariah. Mustahil menegakkan sistem ekonomi syariah, sementara asas bernegara dan sistem-sistem lainnya bukan syariah.
Olehnya, saat pemerintah seolah peduli dengan sektor ekonomi syariah, sebenarnya hanya sedang memanfaatkan sektor ini sebagai solusi tambal sulam atas berbagai problem yang timbul akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis neoliberal.
Pantau Vaksinasi Covid-19, Kapolri Bakal Kunjungi Konsel https://t.co/cieW22fO1W
— Penasultra.id (@penasultra_id) December 14, 2021
Potensi ekonomi umat Islam yang sangat besar hanya dimanfaatkan untuk tenaga pemutar roda ekonomi kapitalisme yang sedang lemah, juga potensial menjadi pasar yang menguntungkan. Dari sini terlihat tujuan menjadikan Indonesia sebagai pusat atau kiblat ekonomi syariah masih sarat aroma kapitalisasi.
Discussion about this post