Oleh: Fadil Maman
Di tengah laju zaman yang ditandai oleh ledakan teknologi dan disrupsi digital, pendidikan tak lagi sekadar transmisi pengetahuan. Ia kini menjadi garda depan untuk membekali generasi muda dengan keterampilan esensial agar mampu bersaing dalam realitas yang didorong oleh kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), data besar, dan sistem otomatisasi.
Salah satu langkah strategis yang tak bisa ditunda adalah pengenalan coding dan AI kepada siswa, khususnya di jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Secara yuridis, urgensi ini selaras dengan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menekankan pentingnya pendidikan yang relevan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan peserta didik (UU Sisdiknas, 2003).
Pendidikan berbasis teknologi bukan sekadar pelengkap, melainkan substansi dari proses pembelajaran kontemporer. Dalam dimensi historis, perubahan kurikulum nasional dari CBSA, KTSP, hingga Kurikulum Merdeka menunjukkan adanya respons berkelanjutan terhadap tantangan sosial dan perkembangan teknologi (Suryadi, 2021).
Filosofisnya, pendidikan adalah proses pemanusiaan yang membebaskan. Dalam konteks digital, kemerdekaan peserta didik hanya mungkin tercapai jika mereka tidak menjadi objek pasif teknologi, melainkan subjek aktif yang menguasai dan memanfaatkannya secara produktif (Fahmi, 2023).
Dari perspektif sosiologis, penguasaan teknologi sejak dini turut mempersempit jurang kesenjangan digital yang selama ini memperlebar ketidaksetaraan sosial-ekonomi (Puspitasari & Suparman, 2022).
Lebih jauh, penting pula dikedepankan sistem evaluasi pembelajaran yang adaptif dan mampu mengukur kompetensi utuh siswa.
Tes Kemampuan Akademik (TKA), sebagai salah satu model evaluasi baru, berupaya mengukur nalar kritis, kemampuan numerasi, literasi, dan berpikir sistematis siswa, bukan sekadar hafalan. TKA mendekati pendekatan evaluatif berbasis kompetensi abad ke-21 yang relevan dengan dunia kerja masa depan (Wulandari, 2022).
Di tengah arus teknologi yang tak lagi terbendung, satu pertanyaan penting mesti kita renungkan: kapan saat terbaik mengenalkan generasi muda pada dunia coding dan kecerdasan buatan (AI)?
Jawaban dari pertanyaan ini sesungguhnya telah lama bergema di ruang-ruang diskusi pendidikan progresif: sedini mungkin. Bukan karena kita ingin semua anak tumbuh menjadi programmer, melainkan karena coding adalah bahasa baru untuk berpikir—cara untuk menstrukturkan logika, menyusun solusi, dan memahami kompleksitas dengan cara yang menyenangkan dan bermakna.
Beberapa temuan mutakhir memperkuat urgensi ini. Sebuah studi menarik yang dilakukan pada siswa sekolah dasar menunjukkan bahwa ketika anak-anak diperkenalkan pada pemrograman visual seperti Scratch, mereka tak hanya antusias, tetapi juga mengalami peningkatan signifikan dalam kemampuan logika dan pemecahan masalah.
Dalam hitungan bulan, mereka memperlihatkan lompatan performa yang mencolok dalam asesmen literasi numerik dan kemampuan berpikir sistematis. Studi tersebut menjadi semacam cermin bahwa berpikir komputasional tidak hanya bisa diajarkan, tapi juga diasah sejak dini—dan hasilnya nyata. Hal ini sejalan dengan tren global.
Laporan dari UNESCO tentang pendidikan di era digital menyoroti bagaimana negara-negara yang memasukkan pengajaran coding ke dalam kurikulum dasar mengalami akselerasi kemampuan digital anak-anak mereka secara menyeluruh.
Singapura menjadi salah satu contoh paling terang. Dengan mewajibkan mata pelajaran “Computational Thinking” sejak SD, negara tersebut berhasil menyiapkan generasi yang bukan hanya pengguna teknologi, tetapi juga inovatornya.
Pada tahun 2023, lebih dari 70% lulusan SMA mereka menguasai setidaknya satu bahasa pemrograman—sebuah capaian yang seharusnya membuat kita bertanya: kita menunggu apa lagi?
Realita di Indonesia belum sepenuhnya menggembirakan. Data dari Kemendikbudristek menunjukkan bahwa penguasaan coding di kalangan remaja baru menyentuh angka 11%. Ini artinya, sembilan dari sepuluh anak kita masih berada di luar peta digital global.
Ironisnya, kita hidup di zaman di mana hampir semua sektor kerja—mulai dari pertanian modern hingga industri gim dan animasi—menuntut keterampilan digital tingkat menengah ke atas. Jadi, bukan berlebihan jika dikatakan bahwa keterlambatan dalam mengenalkan coding adalah bentuk ketidakadilan masa depan.
Tentu, sebagian orang mungkin akan berkata: bagaimana mungkin sekolah-sekolah kita yang masih kekurangan listrik atau sinyal internet bisa bicara soal AI? Di sinilah seharusnya negara hadir, bukan sekadar sebagai regulator, tetapi sebagai fasilitator transformasi.
Kabar baiknya, ada ruang terbuka melalui Kurikulum Merdeka yang memberi keleluasaan bagi sekolah untuk bereksperimen dan berinovasi. Sudah banyak guru yang secara swadaya menggunakan platform open-source seperti Scratch dan Code.org untuk memperkenalkan dasar-dasar logika pemrograman.
Bahkan, komunitas dan perusahaan rintisan lokal juga mulai menyasar pendidikan dasar dengan pelatihan coding sederhana. Namun semua ini perlu diperluas, diarusutamakan, dan disokong kebijakan.
Mengenalkan coding dan AI sejak dini bukanlah kemewahan pendidikan. Ini adalah bentuk investasi paling mendasar untuk membentuk generasi yang siap menghadapi masa depan yang kian digerakkan oleh data dan otomatisasi.
Lebih dari itu, ini adalah langkah preventif untuk memastikan bahwa anak-anak kita tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi menjadi bagian dari mereka yang membentuk arah kemajuan itu sendiri. Karena pada akhirnya, masa depan bukan tentang siapa yang paling cepat menghafal, tetapi siapa yang paling siap mencipta.
Di dunia yang dikuasai oleh algoritma, mereka yang mampu berpikir komputasional adalah mereka yang akan memimpin. Jadi, mari kita mulai dari sekarang. Mari kita tanamkan bukan hanya pengetahuan, tapi juga keberanian untuk berpikir dengan cara baru. Dunia tidak akan menunggu.
Dunia modern tidak hanya memberi peluang, tetapi juga tantangan. Setiap lini kehidupan kini bersentuhan dengan digitalisasi: dari layanan publik, transaksi ekonomi, hingga interaksi sosial. Bila pendidikan tak bergerak mengikuti arus ini, maka sekolah akan tertinggal jauh dari kenyataan hidup peserta didiknya.
Discussion about this post