Sebaliknya, dengan mengintegrasikan teknologi dalam kurikulum, sekolah justru bisa menjadi ruang pemberdayaan digital.
Upaya akselerasi digitalisasi pendidikan tidak hanya sebatas pengadaan perangkat atau konektivitas. Ia mencakup peningkatan kapasitas guru, pengembangan konten pembelajaran berbasis proyek, dan kolaborasi dengan industri teknologi.
Riset oleh Latifah dkk. (2023) menemukan bahwa pelatihan literasi teknologi bagi guru berdampak positif terhadap peningkatan kualitas pembelajaran berbasis AI dan coding. Guru menjadi lebih percaya diri dan inovatif dalam mendesain pengalaman belajar yang kontekstual dan kolaboratif.
Transformasi pendidikan di Indonesia tak lagi dapat ditunda. Di tengah arus deras digitalisasi global, sistem pembelajaran nasional harus mampu mengejar ketertinggalan bukan hanya dari segi infrastruktur, tapi juga dari pendekatan pedagogis yang mampu menjawab tantangan abad ke-21.
Salah satu instrumen strategis yang kini mulai dioptimalkan oleh Kemendikbudristek adalah pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang tidak hanya berperan sebagai alat ukur hasil belajar, tetapi juga sebagai cermin diagnostik terhadap potensi, kekuatan, dan kelemahan peserta didik secara lebih holistik.
Data Kemendikbudristek (2023) menunjukkan bahwa TKA yang diterapkan pada jenjang SMP dan SMA mampu mengungkap pola pembelajaran siswa dengan lebih tajam.
Salah satu temuan paling menarik adalah bahwa siswa yang pernah mendapatkan paparan pembelajaran berbasis coding menunjukkan capaian 18,4% lebih tinggi dalam aspek numerasi dan 21,7% lebih baik dalam aspek pemecahan masalah dibandingkan dengan siswa yang tidak pernah mengikuti kegiatan serupa.
Ini bukan sekadar angka—ini adalah bukti bahwa integrasi teknologi dalam kurikulum bukanlah hiasan futuristik, melainkan kebutuhan mutlak. Ironisnya, belum semua sekolah memiliki kesempatan yang sama untuk mengejar integrasi digital semacam ini. Ketimpangan infrastruktur masih menjadi hambatan besar.
Survei BPS (2023) mencatat bahwa dari 148 ribu satuan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia, baru sekitar 37,6% yang memiliki akses internet stabil. Bahkan, hanya 19% sekolah di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) yang memiliki perangkat digital memadai untuk menunjang pembelajaran berbasis teknologi.
Maka wajar bila keberhasilan pendidikan digital saat ini lebih banyak terjadi di kantong-kantong urban.
Keberhasilan digitalisasi pendidikan bukan sekadar hasil kerja kementerian semata. Ini adalah simfoni multipihak. Pemerintah pusat dan daerah wajib satu frekuensi dalam mengarusutamakan anggaran dan regulasi yang berpihak pada digitalisasi pendidikan.
Dalam APBN 2024, alokasi pendidikan mencapai 665 triliun rupiah, namun hanya 4,7% yang secara spesifik diperuntukkan bagi pengembangan teknologi pendidikan. Ini menandakan bahwa prioritas masih terpecah.
Sekolah juga dituntut untuk tidak hanya adaptif terhadap perubahan, tetapi juga proaktif mencari kemitraan. Dunia usaha, dalam hal ini perusahaan teknologi dan startup pendidikan, bisa dan seharusnya menjadi mitra strategis.
Program CSR dari perusahaan seperti Microsoft, Google, hingga Dicoding sejatinya telah membuka pelatihan coding gratis untuk siswa dan guru. Bahkan hingga tahun 2023, lebih dari 120 ribu siswa telah mendapatkan sertifikasi digital dari pelatihan Google Career Certificates yang disalurkan melalui program Kemendikbudristek.
Angka itu belum mencapai 10% dari total populasi siswa SMA/SMK di Indonesia. Namun pertanyaannya: apakah program ini sudah menjangkau semua wilayah? Jawabannya belum.
Data Kemendikbudristek menyebutkan bahwa hingga 2024, baru sekitar 38% sekolah yang benar-benar menerapkan Kurikulum Merdeka secara utuh. Maka, langkah ke depan harus lebih strategis dan menyeluruh.
Kita tidak bisa hanya menilai pendidikan dari skor ujian akhir. Kita harus mulai mengubah orientasi kebijakan pendidikan dari sekadar penilaian administratif menjadi pengembangan kapasitas berpikir kritis, pemecahan masalah, dan literasi teknologi. TKA dapat menjadi alat ukur yang revolusioner jika terus dikalibrasi dan dihubungkan langsung dengan intervensi kurikulum berbasis teknologi.
Dengan begitu, integrasi pembelajaran coding dalam sistem pendidikan bukanlah pilihan tambahan, tetapi keniscayaan. Dan TKA, dalam bentuknya yang terus dikembangkan, dapat menjadi motor penggerak perubahan jika didukung oleh kebijakan afirmatif dan sinergi lintas sektor yang konsisten.
Inilah saatnya pendidikan Indonesia tidak hanya mengejar dunia—tetapi juga mendefinisikan masa depannya sendiri. Karena itu, sudah saatnya pemerintah mengambil langkah konkret dan sistematis. AI dan coding harus menjadi bagian wajib dalam kurikulum nasional sejak pendidikan dasar.
Ini bukan sekadar pelajaran teknis, tetapi sarana mempersiapkan generasi masa depan dengan nalar digital dan kemampuan beradaptasi yang tinggi. Para guru dan kepala sekolah pun harus diperlengkapi dengan pelatihan literasi teknologi yang diwajibkan dan didukung oleh insentif nyata berupa tunjangan, sertifikasi, atau percepatan jenjang karier.
Tak kalah penting, sekolah-sekolah di wilayah 3T harus menjadi prioritas utama dalam pembangunan infrastruktur TIK, agar kesetaraan digital tidak menjadi utopia. Dan agar langkah-langkah ini bersifat kolaboratif, pemerintah perlu membangun konsorsium nasional lintas kementerian, dunia industri, serta masyarakat sipil untuk mendesain konten dan metode pembelajaran AI dan coding yang sesuai dengan kebutuhan dan konteks lokal.
Kedaulatan digital Indonesia tidak akan terwujud hanya melalui jargon dan retorika. Ia menuntut aksi nyata dari ruang kelas, kebijakan publik, hingga penguatan ekosistem digital yang merata dan berkeadilan. Dan itu semua dimulai dari satu langkah strategis: memastikan bahwa setiap anak Indonesia belajar coding dan AI hari ini, demi masa depan yang lebih merdeka, adil, dan berdaulat.(***)
Penulis adalah Mahasiswa & Pengamat Ekonomi dan Pendidikan UIN Saizu
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post