Dengan mengikutinya, Indonesia berkewajiban untuk pertama, mengurangi dukungan domestik. Dukungan domestik ini merupakan salah saru bantuan pemerintah kepada para petani berupa subsidi pupuk, bibit dan lainnya. Namun, dengan adanya perjanjian ini maka artinya, lambat-laun pemerintah akan mengurangi bantunya berupa berbagai subsidi kepada para petani sampai akhirnya akan dihapuskan.
Kedua, mengurangi subsidi ekspor. Dengan ini maka pemerintah akan berlepas tangung jawab terhadap pendistribusian hasil panen, dengan kata lain, para petani harus berjuang sendiri untuk melawan para pemain-pemain besar pemasar produk pertanian. Yang akhirnya membuat petani akan kembali terseok-seok jika panen melimpah namun harga kian anjlok.
Ketiga, perluasan akses pasar yang dimaknakan sebagai penghapusan seluruh halangan impor dan dikonversi dalam bentuk tarif. Tarif ini nantinya akan dikurangi sebesar 36 persen bagi negara maju, sementara bagi negara berkembang, tarif impor akan dikurangi 24 persen dalam jangka waktu 10 tahun dan pengurangan minimum 10 persen.
Selain itu juga dengan adanya kebijakan pemerintah yang mengusung liberalisasi di sektor pangan dan lebih banyak memihak pada pemilik modal. Seperti halnya pembukaan kran impor pangan seluas-luasnya di tengah panen raya. Bahkan, impor pangan ini menjadi salah satu solusi sumber penyediaan cadangan pangan dan mewujudkan ketersediaan pangan di negeri pertiwi.
Padahal ketergantungan pangan kepada asing melalui impor, baik itu pangan pokok atau pangan strategis, maka sama saja negeri ini menggadaikan stabilitasnya kepada asing. Bahkan pada titik tertentu, ketergantungan itu bisa dimanfaatkan oleh barat sebagai alat politik untuk mewujudkan tujuan-tujuan pihak asing bahkan hingga untuk merubah sistem di suatu negara. Sehingga, negara ini akan kehilangan kedaulatannya.
Miris, negeri yang subur makmur “gemah ripah lor jinawi” dengan sebutan negeri agraris, namun kualitas hidup petani sempit semakin menurun, miskin, dan terpinggirkan. Ini sebagai dampak liberalisasi pertanian. Akibatnya, Migrasi tenaga kerja usia produktif di sektor pertanian tidak terelakkan dan saat ini tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi hak atas pangan petani sangat minim, bahkan hampir tidak ada.
Di sisi lain, ketergantungan petani terhadap bahan baku produksi, seperti benih, pupuk, dan obat- obatan juga semakin kuat yang semua itu jelas akan menguntungkan para pemilik modal. Maka tak heran jika negeri ini akan mengalami krisis pangan. Ditambah lagi dengan sengkarutnya distribusi pangan yang hanya berputar pada sekelompok masyarakat saja, akibat dari melambungnya harga pangan yang sulit dijangkau oleh sebagian masyarakat pelosok desa.
Sungguh, negeri ini adalah negeri yang kaya dan subur yang seyogianya mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan rakyat seluruhnya, namun membutuhkan sistem alternatif yang mampu mengatasi problem krisis pangan ini akibat logis dari rusaknya sistem kapitalisme. Dan Semua itu hanya ada dalam sistem ekonomi Islam yang pernah diterapkan di masa kejayaan Islam silam oleh Rasulullah dan para khalifah.
Ekonomi Islam, The Best Solusion
Dalam Islam, terpenuhinya kebutuhan pangan setiap individu rakyat merupakan salah satu hal yang wajib dijamin oleh negara, sedangkan kebutuhan sekunder dan tersier negara hanya memiliki kewajiban untuk menciptakan situasi agar mereka mampu memenuhinya sesuai dengan kesanggupannya.
Artinya, kebutuhan dasar berupa sandang, pangan dan papan merupakan kewajiban negara, jika individu rakyat, ada yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri, sedangkan wali keluarga juga tak mampu, maka kewajiban tersebut beralih kepada negara (pemerintah) untuk menyediakan dan menjamin ketersediaan kebutuhan pokoknya. Sehingga tidak dipastikan tidak ada individu rakyat yang kelaparan ataupun tidak memiliki tempat tinggal yang layak.
Kemudian dalam mekanisme pangan, maka negara menerapkan beberapa aspek untuk senantiasa menjaga agar produktifitas pangan terpenuhi, baik disektor produksi, konsumsi maupun distribusi.
Pertama, kebijakan sektor pertanian. Untuk menjamin ketersedian pangan, negara melakukan program intensifikasi dan ekstensifikasi. Program Intensifikasi adalah program yang dilakukan dengan menyediakan sarana dan prasarana produksi pertanian yang baik oleh negara, seperti penyediaan bibit unggul, pupuk, obat-obatan, dan sarana penunjang lainnya, seperti bendungan, saluran pengairan dan lainnya, serta teknis-teknis modern yang lebih efisien di kalangan petani.
Selain itu, negara juga menyediakan modal bagi para petani yang tidak memiliki modal untuk mengelola lahan yang dimilikinya sehingga dengan ini maka petani bisa berdaya dan menghasilkan produksi yang unggul.
Discussion about this post