Alih-alih harapkan keadilan, pemerataan ekonomi, keberlanjutan sumber daya. Bahkan kedepan ambruk, karena sistem kuota dengan ribuan kapal tangkap ikan di laut Indonesia. Ditambah waktu kontrak sistem kuota sekitar 20 tahun.
Ibarat pegadaian dan mall-mall, penuh diskon. Di pegadaian, bahan baku emas dari gunung Indonesia. Lalu diolah dan dipercantik jadi cincin, kalung, anting dan barang antik lainnya.
Kemudian, distribusi ke mall-mall maupun pasar-pasar modern. Yang mengeruk dan mengolah tambang-tambang asing. Begitu pun laut, seperti investasi mall-mall di kota besar. Semua lapak dari Indonesia. Isinya barang impor.
Negara dan pemerintah hanya kebagian pajak dari hasil pembelian rakyat. Kebetulan rakyatnya, terpaksa menyukai barang impor karena pilihan tidak ada. Barang yang dijual tak lagi berasal dari hasil UMKM dan ekonomi kreatif anak negeri sendiri.
Apalagi sekarang, seiring investasi digital kelautan dan perikanan merebak yang berasal dari tawaran asing, seperti China dan Amerika Serikat. Tawaran investasi startup teknologi digital itu membuat Indonesia terperangah. Memang, teknologi terbukti mampu dongkrak produktivitas dan kualitas hasil perikanan di banyak negara, termasuk Indonesia.
Tiga program terobosan KKP hingga 2024 adalah investasi startup, digitalisasi budidaya dan penangkapan ikan terukur.
KKP ingin meniru negara Norwegia yang berhasil manfaatkan teknologi budidaya sehingga dikenal penghasil salmon terbesar di dunia. Tentu, melihat Indonesia yang memiliki miliaran komoditas yang berpotensi merajai pasar dunia seperti lobster, udang, garam, kepiting, ikan dan rumput laut.
Namun, tidak sejalan dengan target PNBP yang direncanakan oleh KKP sebesar Rp1,6 triliun pada 2022. Namun, target ini diluar kemampuan KKP.
Mestinya, hitungan KKP harus rasional karena pada 2021, PNBP sektor perikanan telah capai lebih dari Rp1 triliun sehingga nilainya diharapkan lebih tinggi di 2022. Dalam rencana target yang lebih besar yakni pemanfaatan ruang laut dan dari hasil budi daya.
Dari program Kuota Lelang Tangkap Ikan dan Budidaya, belum menunjukkan PNBP naik. Tantangan terberat KKP meyakinkan perusahaan yang mendapat kuota lelang ikan agar tertib dan taat pembayaran PNBP.
Namun tak mudah, ternyata pembayaran PNBP mengalami stagnasi, tidak meningkat. Diperkirakan tahun 2022 ini, PNBP yang diterima dibawah capai tahun 2020 dan 2021.
Penurunan capaian PNBP karena tidak taat perusahaan yang mendapat kuota lelang dalam pembayaran PNBP serta investor asing yang dapat jatah lelang kuota tangkap ikan tidak sepenuhnya melaksanakan regulasi yang ditetapkan pemerintah.
Kemudian strategi penangkapan ikan terukur dan penerapan pelaksanaan PNBP pasca produksi tidak berjalan secara baik sehingga pengaruhi perolehan PNBP.
Lalu permintaan izin penangkapan yang masuk melalui sistem informasi izin layanan cepat (SILAT) tidak berkesesuaian dengan jumlah dokumen perizinan yang diterbitkan sekitar 2.248 surat izin usaha perikanan (SIUP), 4.908 surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan 573 surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI).
Perubahan regulasi dan kenaikan pungutan hasil perikanan tidak naik perolehan PNBP, pelaku usaha perikanan tangkap situasinya sangat lesu sehingga harga ikan mengalami kenaikan dan produktivitas kapal penangkap ikan juga tidak produktif.
Discussion about this post