Olehnya itu, ibarat vampir, pajak adalah darah bagi sistem ekonomi neoliberal. Apapun akan dikenai pajak. Karena paradigma sistem ekonomi neoliberal menjadikan pajak sebagai penopang pendapatan negara, sehingga sulit untuk dihilangkan.
Berbeda dengan hal di atas, dalam sistem Islam sebenarnya dikenal juga istilah pajak, hanya saja kondisinya berbeda dengan yang ada pada sistem saat ini. Karena pajak dalam sistem Islam tidaklah dijadikan sebagai sumber pemasukan utama negara dan tidak semua warganya dikenai pajak. Pajak pun diberlakukan jika kondisi kas keuangan negara mengalami kekosongan, namun setelah membaik maka pajak secara otomatis akan dihentikan.
Sementara itu, APBN sebuah Institusi Islam sumber pemasukan tetapnya yang menjadi hak warga negara dan masuk ke baitulmal yaitu: Pertama, Fai’ (Anfal, Ghanimah, Khumus). Kedua, jizyah. Ketiga, kharaj. Keempat, ‘usyur. Kelima, harta milik umum yang dilindungi negara. Keenam, harta haram pejabat dan pegawai negara. Ketujuh, khumus rikaz dan tambang. Kedelapan, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris. Kesembilan, harta orang murtad.
Hal tersebut tetap menjadi pemasukan negara, ada atau tidaknya kebutuhan.
Pemasukan pajak pun tidak bersifat tetap, pemasukan ini bersifat instrumental karena Islam menetapkan kepada kaum muslim fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika dana tidak ada di baitulmal. Karena hal itu menjadi instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi negara, yang dibebankan hanya kepada umat Islam.
Selain itu juga pemasukan tersebut bersifat insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung pada keperluan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya.
Walaupun beban tersebut menjadi kewajiban kaum muslim, tetapi tidak semua kaum muslim menjadi wajib pajak, apalagi non muslim. Pajak pun diambil dari kaum muslim yang mampu. Dari kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang sesuai dengan proporsi, sesuai dengan standar hidup mereka di wilayah tersebut.
Pajak juga diambil tidak lain untuk membiayai keperluan yang ditetapkan oleh syara’. Institusi Islam juga tidak akan menetapkan pajak tidak langsung, termasuk pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli, dan berbagai jenis pajak lainnya.
Dengan demikian, tidak mudah meniadakan pajak di negeri ini, sebab pajak dijadikan salah salah satu sumber pendapatan terbesar. Oleh karena itu, jalan keluar yang nyata untuk menanggulangi kekurangan APBN/APBD tidak lain yaitu dengan mengembalikan seluruh SDA kepada rakyat sebagai pemilik yang sebenarnya. Kemudian dikelola oleh negara sesuai dengan tuntunan syariah.
Hasil dari sumber daya alam itu akan dinikmati sepenuhnya oleh rakyat, dengan begitu negara tidak akan terus-menerus membebani rakyatnya dengan berbagai jenis pajak. Tentunya semua itu hanya dapat terealisasi dengan diterapkan aturan-Nya dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu a’lam.(***)
Penulis: Freelance Writer
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post