Sementara itu, Gubernur ASR juga menyoroti tekanan terhadap kawasan hutan akibat pertambangan. Hingga 2025, tercatat ada 88 izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dengan total luasan 43.262 hektare.
Kabupaten Kolaka memiliki luasan IPPKH terbesar dengan 19.202 hektare, disusul Konawe Utara (12.671 hektare), dan Konawe (3.360 hektare).
“Kita harus memperkuat pengawasan dan menuntut tanggung jawab lingkungan dari para pemegang IUP,” kata ASR.
Gubernur ASR lantas menegaskan lima kewajiban utama perusahaan tambang. Yakni, pertama, mematuhi semua regulasi perizinan dan teknis tambang. Kedua, membayar pajak dan retribusi tepat waktu. Ketiga, melaksanakan reklamasi dan pascatambang. Keempat, menjaga hubungan harmonis dengan masyarakat dan terakhir menjaga lingkungan hidup.
Dalam aspek penyelamatan aset daerah, Gubernur ASR menjelaskan bahwa saat ini terdapat 16 bidang aset strategis milik Pemprov Sultra yang sedang dalam penertiban.
Aset-aset ini sebagian besar berupa tanah bernilai tinggi, seperti di kawasan Nanga-Nanga dan Bunga Seroja (lokasi operasional Same Hotel).
“Aset ini harus kembali dikuasai oleh pemerintah daerah dan dikelola profesional demi kemaslahatan masyarakat,” kata ASR.
Untuk itu, Gubernur ASR menyerukan pentingnya kolaborasi multipihak dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan penegakan hukum. Ia meminta dukungan dari aparat penegak hukum, KPK RI, serta masyarakat sipil.
“Kita bukan sedang mencari popularitas. Kita sedang menyusun warisan. Sultra dibangun bukan untuk hari ini saja, tapi untuk masa depan,” ujar ASR penuh semangat.
Dengan semangat kolaborasi dan integritas, Gubernur ASR mengajak seluruh pihak untuk bersama-sama menyelamatkan aset, menata pertambangan, dan membangun Sulawesi Tenggara Maju yang Aman, Sejahtera, dan Religius.
Editor: Ridho Achmed
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post