Oleh: Rusdianto Samawa
Dalam visi misi AMIN tercatat hal-hal yang paling urgen. Sekaligus problem komunal yang terjadi turun menurun, seperti perizinan, alat tangkap, solar, market (pasar), Nilai Tukar Nelayan-Pembudidaya (NTN-P), dan lainnya. Kendati visi misi belum lengkap bicara maritim, ruang pesisir, kelautan-perikanan, garam, pembudidaya, industri pengolahan ikan, maupun galangan kapal, dan penegakan hukum laut. Masih perlu dilengkapi. Namun, visi misi AMIN dianggap memenuhi 50% problem solving kelautan-perikanan.
Garis besar haluan visi misi AMIN seputar kelautan-perikanan, khusus stakeholders nelayan yakni “Nelayan Senang, Nelayan Untung, Nelayan Bisa Menabung.” Kalimat ini, sejurus realitas nelayan sedang mengalami stakedown dan kriminalisasi hukum atas kegiatan melaut.
Pasangan AMIN memahami, menyelami dan mencoba menjahit kembali struktur sosial ekonomi nelayan yang tercerabut dari akar aktualisasi kegiatan melaut selama 10 tahun ini. Dari kata “Nelayan Senang,” visi AMIN merajut kembali asa kebahagiaan nelayan diatas tumpukan masalah yang berakibat sengsara kehidupannya.
Ekonomi sosial nelayan terbentur oleh mayoritas kebijakan negara yang membuat kemiskinan menganga. Kesejahteraan jauh dari basis kebijakan negara yang sesungguhnya. Spirit kebijakan ingin sejahtera, tetapi realisasi kebijakan menyengsarakan. Hal ini terjadi akibat negara menyerahkan seluruh paket kebijakan ekonomi pada oligarki.
Kesenangan dan kebahagiaan nelayan terabaikan. Negara tak pernah memiliki empati dan simpati terhadap realitas kemiskinan dan kesengsaraan nelayan itu sendiri. Maka, pasangan AMIN memberi harapan dan kepastian bahwa “Nelayan harus senang dan bahagia pada masa mendatang. Tanpa harus mereduksi proses kegiatan melaut.”
Begitu juga, kalimat “Nelayan Untung”, banyak hal yang dipertimbangkan atas kalimat visi Pasangan AMIN. Problemnya, fondasi visi misi poros maritim tidak menciptakan saluran market dan alur strategis sebagai jalan kesejahteraan. Maritim Indonesia selama 10 tahun ini, justru menjadi bancakan empuk yang hanya menarik investasi tanpa tindakan memulihkan kegiatan ekonomi masyarakat pesisir dengan pasar lokal, regional maupun global.
Pasangan AMIN menyusun kembali konsep “Nelayan Untung,” yang memiliki paradigma yang kuat: pertama, untuk kemajuan. Ada banyak stakeholders yang bangga dengan visi kerja pasangan AMIN yang harus disertai atensi kerja dan mengukur indikator keberhasilan.
Pasangan AMIN, sudah membaca bahwa persepsi publik terhadap kinerja pemerintah yang dinilai buruk dalam menjamin kehidupan masyarakat pesisir. Karena, belum ada unsur perbaikan bagi masyarakat kelas bawah seperti nelayan. Model indikatornya realistis, pemerintah dinilai baik dan berhasil oleh rakyatnya ketika pembangunan dan kebijakan itu menciptakan rasa manis dan bahagia.
Pandangan kedua, untuk kedaulatan. Penenggelaman kapal sering menjadi isu bunglis (nebeng) poros maritim sebagai tafsir dan tanda berdaulatnya Indonesia dimata asing. Ini yang salah ditafsirkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai pelaksana tugas dan peran kebijakan dari visi poros maritim. Agenda berantas IUUF menjadi trendmark kedaulatan. Namun tak bernilai apa-apa, karena tak seiring sejalan dengan keuntungan yang didapatkan nelayan.
Pandangan ketiga, untuk Nelayan Untung dan Sejahtera, cara merealisasikan program pemerintah kedepan, memang harus rigit hingga tercapai aspirasi masyarakat dalam kebijakan pembangunan. Tentu, semua itu untuk kesejahteraan. Namun, bisa ditelaah lebih jauh, kalau kebijakan itu tanpa ada pemetaan, riset kajian dan dampak keuntungan sosial ekonomi. Maka kebijakan itu menyakitkan sekali.
Discussion about this post