Data dari lapangan di Kota Tegal, Madura, Banyuwangi, Kalimantan, Bengkulu, Sulawesi Selatan, Kaltara dan Pulau Sumbawa dalam beberapa hari ini sudah mulai terkuak adanya dugaan perlambat, persulit dokumen hingga kesalahan dalam proses pengurusan, seperti syarat-syarat dokumen menggunakan ketentuan alat tangkap. Padahal, standar alat tangkap satu paket perizinannya dengan kapal sebagai bagian dari peralatan melaut bagi nelayan.
Saat pengurusan izin, banyak nelayan mengeluhkan sistem izin saat ini. Sulit pengurusan karena nelayan tak mau bayar pundi-pundi mafia. Kalau mudah, bayarannya harus tinggi. Modus-modus mafia model seperti harus segera dikerangkeng dan ditangkap oleh penegak hukum.
Pasangan AMIN kedepan harus menciptakan nomenklatur program pengurusan izin seperti Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat). Kehadiran sistem Samsat perizinan kapal ini nanti, untuk tingkatkan layanan izin para nelayan sehingga mudah, dekat, dan meningkatkan kualitas untuk kemaslahatan dan kebaikan bersama.
Tetapi, kenyataannya, pelayanan publik pada perizinan kapal perikanan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah dan pusat masih belum memenuhi azas tersebut. Maka, pasangan AMIN mendasarkan kebijakan kedepan, pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pasal 4 (poin l), pelayanan publik harus berazaskan kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan.
Mengingat proses perizinan masih membutuhkan waktu lama, proses yang tidak sederhana dan multisektor, serta relatif jauh (akses) dari keterjangkauan masyarakat yang ingin memanfaatkan perizinan kapal perikanan, khususnya nelayan kecil, maka sistem Samsat Perizinan Kapal Perikanan untuk memudahkan nelayan adalah desakan dari nelayan.
Pelayanan perizinan tentu memperhatikan ukuran kapal tangkap dan kapal pengangkut ikan yang selama ini efektif untuk mensuplay bahan baku UPI-UPI. Pelayanan pemerintah ini bertujuan memberi kesempatan berusaha yang sama bagi nelayan kecil.
Selain itu, transaksi pembayaran atas perizinan juga banyak dugaan-dugaan yang tidak ditujukan untuk kas pendapatan negara alias pungutan luar. Karena pola dan sistem pembayaran yang diragukan itu, misalnya Peraturan SLO dan SIPI dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sementara jumlah PNBP, metode dan syarat pembayaran dikeluarkan Kementerian Keuangan.
Begitu juga, syarat dokumen ukur kapal dan izin melaut dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan. Kalau PHP ditentukan oleh Kementerian Perdagangan. Proses inilah yang membuat nelayan sangat risau terhadap pola tidak transparansinya pengurusan ijin SLO dan SIPI.
Sedangkan PNBP memang kebijakan KKP tetapi ini tidak sesuai Peraturan Pemerintah No. 75/2015. Misal, biaya PNBP dan PHP alat tangkap Gilnet Oceanik dihitung per GT. 1 GT jumlahnya 980.000. Jumlah bayaran PPP dan PHP mengacu pada PP No. 75/2015. Alat tangkap Gillnets tetapi bayar PNBPnya alat tangkap Purseinets. Inilah celah yang terjadi.
Karena itu, nelayan sangat mendukung visi misi pasangan AMIN pada pilpres 2024 ini, untuk lakukan pengawasan terhadap apapun yang menjadi masalah dalam pengurusan, pengelolaan dan pungutan yang termasuk formulasi APBN.
Tentu visi misi pasangan AMIN ini telah disesuaikan dengan riset, kajian dan diskusi mendalam atas berbagai produk Permen, Kepmen, serta UU maupun regulasi yang ada saat ini. Sehingga kedepan dapat dilengkapi, dipotong proses izin, untuk mudahkan nelayan. Selain itu, Samsat perizinan kapal yang mau diterapkan nanti, untuk melengkapi sistem pendataan sehingga dapat membantu nelayan.
Kalau penerapan sistem ini dilakukan oleh pasangan AMIN, maka Samsat Perizinan Kapal ini baru pertama kali di Indonesia. Dengan keberadaaan sistem Samsat ini, masalah pendataan kapal penangkap maupun pengangkut ikan, dan juga usaha perikanan akan makin terdata dengan baik.
Hal ini, solusi atas persoalan panjangnya proses pelayanan perizinan kapal nelayan. Jauhnya akses pelayanan yang butuh waktu sangat lama untuk dapatkan izin kapal skala kecil di bawah 5 GT maupun kapal-kapal skala 5-30GT. Untuk meminimalisir polemik perizinan.
Apalagi, sekarang banyak kapal melaut tanpa izin yang dapat digolongkan sebagai pelaku Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUUF) yang dianggap menimbulkan kerugian negara. Padahal dalam masa tertentu, pemilik-pemilik kapal itu mengurus izin, tetapi waktunya lama.
Discussion about this post