Oleh: Rusdianto Samawa
Pada debat ketiga Capres 2024, Anies Baswedan tampil gagah. Anies seperti giroh Napoleon Bonaparte yang berdarah Bugis “menangkan” revolusi dan melakukan diplomasi perang dalam meyakin dunia. Anies tampil bak pemimpin militer dalam peta politik nasional.
Walaupun Anies non militer, tetapi percikan gaya kepemimpinan Napoleon Bonaparte berdarah Bugis itu ada. Napoleon pemimpin revolusioner dari tahun 1804 sampai tahun 1814, dan kembali pada tahun 1815. Anies pemimpin perubahan Indonesia dari 1997-2024 dan seterusnya dimasa mendatang.
Anies sudah melakukan gentongan perubahan sejak 1997 melawan anarki dan kekuasaan otoriter. Darah perubahan untuk Indonesia sudah mengalir sejak itu. Tahun 2024 gentongan berhasil memantik esensi gerakan perubahan untuk kepemimpinan nasional Indonesia.
Anies non militer mampu memahami pentingnya, diplomasi, negosiasi, dan situasi politik global. Sementara, lawan debatnya lunglai atas pertanyaan yang tak bisa dijawab. Padahal lawannya kerjakan 4 tahun ini, apa yang dipertanyakan Anies.
Atas ketidakberesan lawan debat, Anies berhasil membubuhkan argumentasi dalam ketidakpastian pilihan warga negara. Heroisme Anies membawa wajah diplomasi Indonesia penuh optimisme. Paling dinantikan oleh pegiat maritim, nelayan serta global politik, Anies menyentil kegagalan poros maritim Indonesia yakni pencurian ikan, pencurian pasir, perlindungan ABK, human traffacking, alutsista sistem TNIAL, rumah dinas TNI-Polri, dan diplomasi Indonesia dikancah global. Semua itu kebobolan dan kebobrokan pemimpin dan menteri pertahanan.
Bagi Anies kekuatan diplomasi Indonesia yang dilakukan pemimpin adalah ujung tombak pertahanan negara agar bisa meraih predikat paripurna dan imbang dalam kancah dunia internasional.
Buruh Industri Perikanan: Reformasi Regulasi dan Diplomasi Indonesia
ILO Asia Tenggara merilis data pekerja di sektor industri Perikanan. Hingga 2014 lalu, jumlah nelayan Asia mencapai 84,3 persen dan dari Asia Tenggara sebanyak 11 persen. Jumlah Indonesia yang terbanyak, sekitar 2,2 juta, sedangkan Myanmar diurutan kedua dengan 1,4 juta nelayan. Itu pada 2014 lalu, sekarang tahun 2018 jumlah nelayan pekerja bertambah menjadi 3,1 Juta.
Penambahan jumlah itu, seiring industri baru tumbuh diberbagai sektor kelautan dan perikanan. Data 2018 dihitung berdasarkan jumlah pendapatan, keluarga, dan industri yang tumbuh.
Selama September 2016-Maret 2017, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan naik 188,19 ribu orang dari 10,49 juta orang pada September 2016 menjadi 10,67 juta orang pada Maret 2017. Sementara, di daerah pedesaan (bukan pesisir/nelayan) turun sebanyak 181,29 ribu orang dari 17,28 juta orang pada September 2016 menjadi 17,10 juta orang pada Maret 2017.
Angka laporan ASEAN ada kesamaan dengan kenyataan, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,7 juta. Jadi sisanya ada di Filipina. Penyebabnya adalah kebijakan ekonomi yang tidak tepat dan tak afirmatif terhadap rakyat miskin, nelayan dan masyarakat pesisir umumnya. Angka kemiskinan ekstrem di Indonesia saat ini hanya 0,8 persen dengan garis kemiskinan di bawah Rp350 ribu per kapita per bulan. Termasuk nelayan dan masyarakat pesisir.
Menurut Organisasi PBB untuk Pekerja (ILO) mendorong negara-negara Asia Tenggara untuk meratifikasi konvensi yang melindungi hak asasi manusia (HAM) pekerja industri perikanan. Tahun 2018 jumlah nelayan Indonesia sebagai pekerja bertambah menjadi 3,1 Juta. Tahun 2020-2024 bertambah sekitar 7,8 juta.
Sejauh ini, belum ada negara kawasan yang punya regulasi khusus untuk melindungi hak-hak pekerja industri perikanan, termasuk Indonesia. Padahal rentan jadi korban perdagangan manusia maupun kejahatan internasional lain. Maka, penting sekali ada langkah perlindungan pekerja sektor perikanan karena sangat rentan jadi korban perdagangan manusia, eksploitasi, dan perbudakan.
Paling banyak pekerja laki-laki dibanding perempuan. Tetapi, hampir semua kondisinya tidak alami tekanan, perbudakan dan Pemutusan Hubungan Kerja.
Pekerja industri perikanan menghadapi situasi lebih berbahaya dibanding sektor lain karena jam kerja panjang, kondisi cuaca ekstrem, dan lingkungan laut yang berisiko tinggi. Meski belum ada angka yang pasti, sebagian besar pekerja di kapal-kapal ikan merupakan buruh migran dan pekerja industri perikanan dominan tenaga kerja lokal. Tetapi sering mengalami tekanan dan PHK.
Pada tahun 2018 terdapat sekitar 960.000 buruh migran Indonesia yang bekerja di pelayaran, baik sebagai pelaut maupun anak buah kapal dan separuh di antaranya di industri perikanan. Kenaikan satu persen jumlah berdasarkan data tersebut. Asumsi gaji Rp.10 juta per bulan, tiap bulan mereka menghasilkan sekitar Rp.4,5 triliun devisa.
Pekerja industri perikanan menghadapi dua tantangan utama: ketidakjelasan rekrutmen dan penempatan serta eksploitasi tenaga kerja saat bekerja di kapal. Rentannya pekerja industri perikanan menjadi korban perdagangan manusia dan kejahatan internasional. Banyak perusahaan di industri perikanan, belum tahu standar layak untuk pekerjanya. Parahnya lagi, belum ada satu pun mekanisme untuk melindungi pekerja industri perikanan di tingkat regional.
Kasus perbudakan di kapal ikan di Benjina dan Ambon, Indonesia. Maka, perlunya perlindungan HAM bagi pekerja industri perikanan, terutama buruh kapal (ABK). Selain harus mengembalikan para buruh kapal ke negara asal, pemerintah Indonesia juga harus meratifikasi hukum internasional untuk melindungi buruh migran sektor perikanan.
Pemerintah Indonesia telah memberlakukan larangan untuk sebagian besar penangkapan ikan, berupaya membersihkan pemburu asing yang mengambil miliaran dolar makanan laut dari perairan negara. Sebagai hasilnya, lebih dari 50 kapal sekarang berlabuh di Benjina, membuat sampai 1.000 budak terdampar di pantai?
Pemerintah mencoba menegakkan aturan yang melarang kapal kargo mengambil ikan dari kapal di laut. Praktik ini memaksa para penangkap ikan tinggal di perairan selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun, pada dasarnya menciptakan penjara mengapung.
Penting agar negara-negara kawasan Asia untuk melindungi pekerja industri perikanan. Sebab, jika hanya satu negara yang melindungi, akan susah karena kapal bergerak dari satu negara ke negara lain.
Di beberapa industri perikanan Asia dan Indonesia sendiri, buruh laki-laki dan perempuan, banyak menderita akibat absennya penegakan hak-hak dan pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia. Isu upah rendah, diskriminasi jender, pelanggaran di tempat kerja, pemotongan upah, serta keterlibatan buruh anak dan kerja paksa merupakan permasalahan yang belum terungkap.
Sebuah studi berjudul Precarious Work in the Asian Seafood Global Value Chain yang dirilis dalam Konvensi ILO di Jenewa untuk organisasi penegakkan HAM dan hak-hak buruh perikanan, bahwa penyiksaan pekerja dalam rantai suplai industri perikanan global harus dihentikan dan dapat melindungi pekerja. Kasus perbudakan di kapal-kapal di Indonesia, memperpanjang rentetan sejarah pelanggaran terhadap buruh.
Maka, harus ada penjaminan ketersediaan akuntabilitas ke seluruh nilai rantai, serta perhatian khusus terhadap pekerja industri perikanan. Selain itu, harus menetapkan batas penggunaan buruh kontrak, outsourching, dan pekerja mandiri demi perlindungan kerja.
Perbudakan modern adalah masalah yang banyak diketahui pada rantai pasokan pekerja perusahaan industri perikanan. Untuk mengakhiri perlakuan buruk terhadap para pekerja. Setiap perusahaan harus memiliki standar perburuhan.
Perbudakan modern memengaruhi hampir setiap industri perikanan tidak dalam posisi adanya transparansi di rantai pasokan pekerja. Maka, Indonesia sudah saatnya, gagas dan berlakukan Undang-Undang Perbudakan Modern, sebuah undang-undang yang dirancang untuk memperbaiki upaya memerangi perbudakan.
Undang-Undang itu mengharuskan perusahaan untuk menerbitkan laporan tahunan di situs industri perusahaan sebagai langkah-langkah pengawasan untuk memastikan perbudakan tidak ada terjadi. Pengawasan tenaga kerja di sektor perikanan masih belum maksimal.
Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya praktik perdagangan manusia (human traficking), terutama yang menimpa anak buah kapal (ABK). Kondisi itu terjadi karena ABK kapal perikanan saat ini masih belum memenuhi standar kelayakan kesejahteraan. Seperti dilihat dari segi upah dan jam kerja.
Discussion about this post