Cara jitunya adalah cermat mengidentifikasi apakah kata yang mengikuti partikel di adalah kata kerja atau kata keterangan. Misalnya, bila “di” mengikuti kata kerja, maka jelas partikel tersebut difungsikan sebagai imbuhan.
Semisal partikel “di” diikuti oleh kata makan, maka partikel di tersebut berfungsi sebagai imbuhan awalan. Oleh karena itu partikel di dan kata kerja dasar “makan”, harus ditulis bersambung atau dimakan.
Bila yang mengikuti partikel “di” dalam sebuah kalimat adalah kata keterangan, maka secara otomatis, partikel di dan kata keterangan yang mengikutinya, harus dipisahkan. Misalnya yang mengikutinya adalah kata kalangan (objek), sekolah (tempat), atau Oktober (waktu), maka penggunaan partikel di yang mendahului kata tersebut harus dipisahkan.
Misalnya bila itu ditulis dalam judul berita. “Vaksinasi di Kalangan Tenaga Medis Capai 80 Persen”. Atau “Hari H Pemilu 2024 Diputuskan di DPR”. Beda misalnya dengan “di” sebagai imbuhan dengan kata kerja di depannya. “Tersangka Korupsi Dipanggil Jaksa”. Partikel “di” dan “panggil” itu disatukan.
Sederhana sebenarnya, hanya butuh sedikit kecermatan, ketelitian dan tentu saja kebiasaan. Bukan hanya asal tulis, kemudian abai terhadap kaidah lalu menyerahkan pada orang yang membacanya.
Mata saya juga kerap terganggu dengan orang yang menulis di jendela dunia mayanya menggunakan kapital di huruf pertama tiap kata yang ditulisnya. Sudah model begitu, panjang pula. Isinya, kata-kata bijak atau sindiran ke pihak lain.
Bagaimana saya mau terpengaruh sama quote yang ditulis, bila teknik menulisnya jauh dari PUEBI. Meski itu hanya di media sosial, tidak ada salahnya bila kita membiasakan menggunakan kaidah menulis yang baik.
Memangnya kenapa kalau keliru? Pertama, tulisan yang baik dan enak dibaca-status di media sosial sekali pun-sebaiknya adalah hal-hal yang bersih dari kesalahan elementer mulai dari ejaan, huruf, salah tik (di KBBI bukan ketik tapi tik). Di tulisanmu, isinya menyindir seseorang dan atau menyampaikan kritik sosial, tapi menegakan aturan berbahasa saja kamu tak bisa. Bagaimana saya bisa yakin dengan gagasanmu.
Apa yang kita tulis, termasuk di media sosial, merefleksikan citra kita. Ia adalah cerminan dari sikap, perilaku, cara berpikir, sekaligus menunjukkan kecerdasan bahkan, sebaliknya, kebodohan kita. Meski kita pintar, tapi jika terlalu sering mengulangi dan melakukan kekeliruan serupa, itu sama dengan-meminjam istilah kawan saya-beternak kebodohan.
Marilah membiasakan yang benar, bukan sebaliknya. Bagaimana anda yang sedang mengalami tuna asmara, berharap bisa punya pasangan bila Jomlo saja masih kau tulis Jomblo. Sibuk mencari seseorang di hatimu, tapi di story WA mu kau tulis Dihatimu. Susah konee itu Jubaedaaa…!
Penulis: Penyuka Kopi
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post