Sementara norma pasal 54C ayat(2) UU 10/2016 menyatakan bahwa “Pemilihan 1 (satu) pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat 2 (dua) kolom yang terdiri atas 1 (satu) kolom yang memuat foto pasangan calon dan 1 (satu) kolom kosong yang tidak bergambar”.
Sedangkan, pada ayat 3 pasal tersebut menyebutkan bahwa “Pemberian suara dilakukan dengan cara mencoblos”. Artinya, Pemberian suara dalam pilkada pada satu pasangan calon atau melawan kotak kosong dengan cara mencoblos satu kali pada kolom yang memuat foto pasangan calon atau mencoblos kolom kosong yang tidak bergambar.
Menghitung Kemenangan Calon Tunggal
Pada Pilkada 2024, diperkirakan fenomena calon tunggal akan mengalami peningkatan, mengingat berbagai faktor yang mempengaruhinya, termasuk didalamnya adalah intervensi kekuasan, kemampuan finacial, popularitas serta kekurangan kader partai politik.
Penentuan pemenang dalam Pilkada dilandaskan pada perolehan suara terbanyak. Hal mana disebutkan dalam pasal 107 ayat (1) UU 10 tahun 2016 Tentang Pilkada, disebutkan bahwa “Pasangan calon bupati dan calon wakil bupati serta pasangan calon wali kota dan calon wakil walikota yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon bupati dan calon wakil bupati terpilih serta pasangan calon wali kota dan calon wakil wali kota terpilih”.
Lalu bagaimana menghitung kemenangan jika hanya terdapat calon tunggal hingga ditetapkan sebagai pemenang dalam Pilkada?
Landasan yuridis mekanisme penentuan pemenang Pilkada dengan hanya terdapat satu pasangan calon, secara rinci disebutkan dalam ketentuan Pasal 54D ayat (1) menyatakan bahwa “KPU Provinsi atau KPU kabupaten/kota menetapkan pasangan calon terpilih pada pemilihan satu pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54C, jika mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari suara sah”.
Apabila suara yang diperoleh tidak mencapai lebih dari 50 persen, maka dapat dimaknai calon tunggal tersebut dinyatakan kalah dan dapat mencalonkan kembali pada Pilkada selanjutnya. Lebih lanjut, Pasal 107 ayat (3) menyebutkan “Dalam hal hanya terdapat satu pasangan calon bupati dan calon wakil bupati serta pasangan calon wali kota dan calon wakil wali kota peserta pemilihan memperoleh suara lebih dari 50 persen dari suara sah, ditetapkan sebagai pasangan calon bupati dan calon wakil bupati terpilih serta pasangan calon wali kota dan calon wakil wali kota terpilih”.
Sedangkan berkait dengan calon gubernur dan wakil gubernur tunggal diatur dalam ketentuan Pasal 109 ayat (3) yang pemaknaannya sama dengan pasal 107 ayat (3), perolehan suaranya harus mencapai lebih dari 50 persen dari suara sah.
Turunan dari UU Pilkada sebagaimana disebutkan diatas, juga diatur dalam pasal 22 ayat (2) PKPU Nomor 13 Tahun 2018 Tentang Perubahan PKPU Nomor 14 Tahun 2015 tentang pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati dan wali kota dan wakil wali kota dengan satu pasangan calon, menegaskan bahwa KPU provinsi/KIP atau KPU kabupaten/kota menetapkan pasangan calon yang mendapatkan suara sah lebih dari 50 persen dari suara sah sebagai pasangan calon terpilih pada pemilihan dengan satu pasangan calon.
Berdasarkan argumentasi hukum tersebut, maka jelas dan tegas penghitungan pemenang antara pasangan calon tunggal melawan kota kotak kosong adalah memperoleh suara sah lebih daru 50 persen dari suara sah hasil pemilihan.
Pilihan seorang pemilih yang berdaulat adalah amanat yang harus dijaga kemurniannya, meski mungkin pada akhirnya suara-suara itu tidak mencukupi untuk menentukan seseorang menjadi pemimpin. Wallahu a’lam bishawab.(***)
Penulis: Alumni Fakultas Hukum UHO/Praktisi Hukum
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post