Ketiga, program ini juga memberikan insentif kepada guru-guru non-ASN yang belum memiliki sertifikat profesi. Ini merupakan bentuk pengakuan dan keberpihakan terhadap kontribusi mereka di tengah keterbatasan anggaran dan akses pendidikan.
Selain itu, pemerintah menyediakan bantuan pendidikan bagi guru-guru yang belum memenuhi kualifikasi akademik minimal S-1 atau D-4. Berdasarkan data Kemendikbudristek tahun 2024, masih terdapat sekitar 13% guru yang belum berpendidikan S-1, mayoritas berada di daerah terpencil.
Keberhasilan implementasi Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC)—sebuah inisiatif strategis pemerintah pusat untuk mempercepat transformasi pendidikan nasional—tentu tidak dapat ditopang hanya oleh Kementerian Pendidikan atau pemerintah pusat semata.
Dalam konteks tata kelola pendidikan modern, pendekatan sentralistik telah terbukti tidak efektif untuk menjangkau kompleksitas masalah pendidikan di berbagai daerah yang sangat beragam kondisi geografis, sosial, dan ekonominya. Oleh sebab itu, partisipasi aktif dari pemerintah daerah, dunia usaha, LSM pendidikan, komunitas lokal, dan orang tua merupakan elemen penentu keberhasilan PHTC.
PHTC secara garis besar mencakup empat pilar utama: (1) percepatan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, (2) digitalisasi pembelajaran, (3) insentif bagi guru non-ASN yang belum tersertifikasi, dan (4) bantuan pendidikan bagi guru yang belum mencapai kualifikasi S-1 atau D-4.
Keempat komponen tersebut tidak akan berjalan secara efektif tanpa kolaborasi lintas sektor yang kuat dan berkelanjutan. Misalnya, dalam konteks perbaikan infrastruktur sekolah, peran pemda sangat vital dalam hal perencanaan, pengawasan, dan pengelolaan anggaran pendamping daerah.
Tanpa dukungan APBD atau penguatan monitoring oleh inspektorat daerah, proyek perbaikan gedung sekolah bisa berisiko terhambat atau bahkan menimbulkan potensi penyimpangan.
Dalam laporan BPK 2023, ditemukan bahwa 32% proyek renovasi ruang kelas di wilayah timur Indonesia mengalami keterlambatan karena koordinasi lintas dinas di daerah belum optimal (BPK RI, 2023).
Sektor swasta pun turut memainkan peran penting dalam memperkuat aspek digitalisasi pembelajaran. Dalam pilot project PHTC di Provinsi Jawa Barat, misalnya, perusahaan penyedia teknologi lokal bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kota Bogor untuk menyediakan perangkat tablet dan aplikasi belajar daring berbasis kebutuhan lokal.
Hasil evaluasi semester pertama menunjukkan peningkatan keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar daring sebesar 27% dibanding tahun sebelumnya (Disdik Kota Bogor, 2024).
Sementara itu, keberhasilan pemberian insentif dan beasiswa pendidikan untuk guru non-ASN sangat bergantung pada kemitraan dengan lembaga penyelenggara pendidikan tinggi dan yayasan sosial. LSM seperti Indonesia Mengajar dan Sahabat Guru Nusantara saat ini aktif menjembatani antara pemerintah dan lembaga donor dalam hal pelatihan sertifikasi guru, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Dalam laporan tahunan mereka (2024), disebutkan bahwa program pendampingan sertifikasi yang mereka fasilitasi telah menjangkau 7.300 guru non-ASN di 52 kabupaten, dengan peningkatan kelulusan sertifikasi sebesar 18% dalam setahun terakhir.
Fenomena konkret lainnya datang dari Kabupaten Banyumas, di mana kolaborasi antara Dinas Pendidikan, Forum Relawan Literasi Banyumas, dan para kepala sekolah menghasilkan inisiatif gotong-royong untuk membangun perpustakaan komunitas berbasis desa.
Tanpa bergantung sepenuhnya pada anggaran pusat, mereka memobilisasi sumbangan buku dari masyarakat dan sponsorship dari pelaku usaha lokal. Hasilnya, indeks minat baca siswa di wilayah tersebut meningkat hingga 40% dalam dua tahun terakhir (Jawa Pos, 2024). Ini adalah bukti kuat bahwa keberhasilan program nasional sangat ditentukan oleh daya inisiatif dan kolaborasi lokal.
Dari sisi orang tua, peran mereka sebagai pendamping utama di rumah dalam mengawal efektivitas digitalisasi pembelajaran juga sangat strategis. Namun, data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2023 menunjukkan bahwa hanya 46% orang tua siswa SD yang secara rutin mendampingi anaknya belajar di rumah, dan angka ini lebih rendah di wilayah perdesaan (BPS, 2023).
Artinya, perlu ada pendekatan komunitas yang mendorong literasi digital orang tua dan memfasilitasi pelatihan teknis sederhana, agar pelaksanaan digitalisasi dalam PHTC tidak sekadar menjadi distribusi alat, tetapi benar-benar menghadirkan dampak transformatif di tingkat rumah tangga.
Secara teoritis, pendekatan ini selaras dengan konsep collective impact dalam kebijakan publik yang dikemukakan Kania dan Kramer (2011), di mana perubahan sosial yang kompleks hanya bisa dicapai melalui lima elemen utama: agenda bersama, sistem pengukuran bersama, aktivitas yang saling memperkuat, komunikasi terbuka berkelanjutan, dan organisasi pendukung.
PHTC dapat menjadi kerangka kolektif seperti itu, asalkan ada struktur kolaboratif yang terkoordinasi secara sistemik di tingkat pusat dan daerah. Dengan begitu, dapat ditegaskan bahwa keberhasilan PHTC sebagai program percepatan transformasi pendidikan modern akan sangat ditentukan oleh kesediaan semua pihak untuk tidak hanya mendukung secara simbolik, tetapi juga mengambil peran nyata dan berkelanjutan.
Ketika pemda aktif mendukung logistik pembangunan, swasta menyediakan teknologi, LSM dan komunitas membangun semangat gotong royong, dan orang tua berperan aktif dalam mendampingi pembelajaran, maka program ini berpeluang besar menjadi bukan sekadar proyek lima tahunan, tetapi tonggak sejarah baru dalam sistem pendidikan nasional yang lebih adaptif dan inklusif.
Penutup
Pendidikan bukan hanya urusan birokrasi, tetapi tanggung jawab kolektif yang menuntut komitmen, konsistensi, dan kolaborasi. Kita tidak sedang berbicara tentang laporan-laporan formal atau program-program yang berhenti di atas meja rapat.
Kita bicara tentang masa depan—tentang anak-anak yang hari ini duduk di bangku sekolah dasar di pelosok negeri, yang kelak akan menjadi penentu arah bangsa. Tantangan memang besar: ketimpangan infrastruktur antarwilayah masih mencolok, literasi dasar di sejumlah daerah belum mencapai standar minimum, dan disrupsi digital terus menguji fokus anak-anak kita.
Namun, di tengah tantangan tersebut, PHTC hadir bukan sebagai mimpi kosong, tetapi sebagai peta jalan menuju transformasi yang nyata. Apa yang membedakan PHTC dari program-program sebelumnya adalah pendekatannya yang partisipatif dan akseleratif.
PHTC tidak membayangkan perubahan terjadi dari pusat ke daerah secara linear, tetapi justru membangun ekosistem di mana semua pihak—dari pemda, sekolah, guru, orang tua, swasta, hingga komunitas sipil—bergerak bersama dalam satu simpul gerakan.
Inilah wajah baru pendidikan kita: kolaboratif, relevan, dan berbasis pada kebutuhan lokal yang konkret. Bila hal ini dilakukan secara konsisten, bukan mustahil Indonesia akan melompat jauh dalam pencapaian mutu pendidikan.
Kini saatnya seluruh elemen bangsa menjadikan pendidikan sebagai gerakan sosial, bukan sekadar agenda institusional. Kita tidak bisa terus-menerus menunggu aba-aba dari pusat.
Pendidikan harus tumbuh dari bawah, dari desa-desa yang membangun perpustakaan komunitas dengan dana swadaya, dari guru-guru honorer yang tetap mengabdi di tengah keterbatasan, dari orang tua yang mulai mendampingi anak belajar di rumah. Seperti yang dikatakan Ki Hadjar Dewantara, “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.”
Maka dari itu, saat digitalisasi menjadi inklusif, guru-guru diberdayakan, dan infrastruktur terus diperbaiki, mimpi tentang pendidikan bermutu untuk semua bukan lagi utopia—tetapi keniscayaan yang sedang kita ukir bersama.
Inilah saatnya. Jika Anda adalah pejabat daerah, pastikan anggaran pendidikan tidak hanya diserap, tapi dirasakan dampaknya oleh sekolah-sekolah kecil di pinggiran. Jika Anda pelaku usaha, berikan kontribusi nyata bagi penguatan literasi digital dan peningkatan kapasitas guru.
Jika Anda adalah orang tua, luangkan waktu untuk belajar bersama anak, karena kehadiran Anda lebih berarti dari sekadar biaya les. Dan jika Anda adalah warga negara biasa, sadari bahwa masa depan negeri ini tidak hanya ditentukan oleh politik lima tahunan, tetapi oleh investasi harian kita dalam pendidikan.
Pendidikan bukan proyek satu periode, bukan pula kerja satu institusi. Ini adalah ikhtiar panjang yang menuntut kita semua untuk terlibat. Jangan menunggu perubahan—jadilah bagian dari perubahan itu. Karena hanya dengan gotong royong dan kesadaran kolektif, Indonesia Emas 2045 bukan sekadar slogan, tapi takdir yang benar-benar bisa kita capai.(***)
Penulis adalah Pengamat Pendidikan & Ekonomi UIN SAIZU
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post