PT Alaska diketahui pula tidak memiliki izin operasional termasuk izin perlintasan jalan negara. Sebab, PT Alaska baru memiliki izin pemenuhan komitmen pembangunan Tersus dengan Nomor: A.1028/AL.308/DJPL tertanggal 2 September 2019.
“Itu pun kami menduga tidak sesuai dengan aspek teknis pelaksanaan pembangunannya di lapangan,” ujar Kuswandi.
Setali tiga uang dengan PT Alaska, PT MSN juga memiliki berproblem yang sama. PT MSN hanya memiliki izin pemenuhan komitmen pembangunan Tersus dengan Nomor: A.131/AL.308/DJPL/E tanggal 11 November 2021.
“Hal ini terungkap saat kami melakukan rapat bersama dengan KTT kedua pihak perusahaan. Mereka tidak bisa memperlihatkan perizinan tersebut. Mereka juga mengakui izin operasional belum ada dan dalam proses pengurusan di Kementrian terkait,” beber Kuswandi.
Dari sekelumit permasalahan yang ada, tim lantas menemukan fakta yang cukup mencengangkan. Yaitu, adanya laporan pengiriman ore nickel dalam jumlah besar.
PT MSN sampai saat ini telah melakukan pengiriman ore sebanyak 18 kapal tongkang dengan rata-rata 5.000 metrik ton. Sedang, PT Alaska sudah melakukan pengiriman ore sekitar 8 tongkang dengan rata-rata 5.000 metrik ton.
Sementara, kedua perusahaan diketahui tidak mempunyai dokumen lengkap. Diduga, mereka menggunakan dokumen perusahaan lain untuk memuluskan pengiriman ore nickel ke luar daerah.
“Untuk Alaska belum termasuk dengan aktivitas bongkar muat yang dilakukan oleh Mitra Sulawesi Bersama (MSB) di jetty Alaska,” papar mantan aktivis LMND Palu itu.
Dengan adanya sejumlah temuan tersebut, Kuswandi menegaskan beberapa hal.
Discussion about this post