Kondisi ini tentu saja mempengaruhi pertumbuhan media yang mengedepankan jurnalisme berkualitas, yang harus berjuang ekstra keras mempertahankan idealisme sekaligus mampu bertahan secara ekonomis dengan memberi gaji baik untuk wartawannya dan setia pada kode etik dengan tidak mau diintervensi berbagai kepentingan melalui sogokan iklan dan sejenisnya. Mereka ini juga akan kalah dalam mendapatkan klik karena judulnya tidak sensasional serta tidak berupaya membuat mata terbelalak dengan kata-kata menohok, meski mungkin unggul dalam waktu baca karena artikelnya menarik dan mendalam.
Ketika Undang-Undang No 40 tentang Pers disahkan pada tahun 1999, yang salah satu pasalnya berbunyi “setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers” (Pasal 9), tentu maksudnya adalah agar kita semua dapat memanfaatkannya untuk memaksimalkan fungsi kontrol sosial; peran memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; memperjuangkan keadilan dan kebenaran, dan seterusnya.
Kenyataan yang terlihat saat ini penyelewengan semakin parah, karena motif ekonomi dan keinginan memiliki kekuasaan penegakan hukum. Tujuan mendirikan perusahaan pers ada yang memang dilakukan untuk memeras dengan berlagak investigasi, menjadikan profesi wartawan dari media itu untuk menggertak dan mengintimidasi atas nama kemerdekaan pers.
Bahkan menamai medianya mirip atau mendekati nama lembaga penegak hukum, dengan logo serta emblem mengkilat, untuk menakut-nakuti kepala desa, kepala sekolah, birokrat di pemerintahan daerah atau perusahaan swasta.
Tidak salah kalau citra wartawan atau jurnalis menjadi buruk akibat lagak lagu mereka yang tampil kadang lebih mentereng dibanding wartawan sungguhan. Ditambah lagi karya jurnalistik mereka menjadi barang dagangan, muncul rasa skeptis di kalangan masyarakat, khususnya yang tidak faham seluk beluk pers dan media.
Pengaduan ke Dewan Pers sampai akhir November lalu mencapai hampir 800 kasus, dengan media yang diadukan sebagian besar adalah media siber. Materi aduan adalah pelanggaran kode etik akibat berita yang tidak berimbang, tidak konfirmasi, opini menghakimi, dan asas praduga tak bersalah, serta tidak akurat. Kesalahan mendasar, yang tidak akan terjadi apabila wartawan atau editornya memahami dan menguasai kode etik.
Inisiator UU Pers yang masih hidup, mungkin tidak membayangkan ini yang terjadi. Bisa jadi mereka kecewa, betapa luar biasa dampak negatif dari kebebasan apabila disalahgunakan untuk tujuan tidak baik. Ulah penumpang gelap kemerdekaan pers ini menjadi persoalan besar, yang para pemangku kepentingan pers. kita semua harus mencari jalan keluarnya.(***)
Penulis merupakan Wakil Ketua Dewan Pers
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post