Kasus SDN I Pondok Cina Depok, yang hendak digusur karena akan dibangun masjid, langsung ditanggapi Gubernur Jabar Ridwan Kamil. Dia ingin agar kasusnya selesai dulu, baru dilakukan pembangunan, tidak ada batas waktu. Kalau tidak viral, mungkin gedung di Jalan Margonda itu sudah rata dengan tanah.
Dulu Gubernur Ali Sadikin, setiap pagi sarapan koran-koran utama Jakarta sebelum melakukan kegiatan. Kalau ada masalah yang harus dia tindaklanjuti, langsung turun ke lapangan. Sekarang tinggal cek apa yang sedang ramai dibahas, entah di Twitter, Instagram, atau Tiktok, pejabat di pusat dan daerah sudah tahu, apakah ada persoalan yang harus dia selesaikan. Media televisi, media siber, apalagi suratkabar, tinggal menjadi pelengkap, pemanis.
Perubahan perilaku di masyarakat dan perkembangan teknologi informasi, adalah kenyataan yang tidak bisa dibantah. Ditambah semakin sedikitnya pendapatan dari iklan—apalagi distribusi—membuat media massa khususnya media cetak semakin tersudut, sulit menjalankan perannya dengan penuh. Banyak yang curiga media massa besar, terpaksa kompromi di sana-sini, dengan berbagai cara, agar dapat bertahan hidup.
Tetapi kalau kata “hancur” yang dituliskan Dahlan Iskan itu dipandang sebagai peringatan, ya tidak apa-apa juga, untuk menunjukkan ada masalah serius, penting, yang harus diselesaikan oleh masyarakat pers. Saya tidak melihat bahwa tulisan itu dimaksudkan sebagai membunuh jurnalisme dan jurnalis.
Kita semua melihat dengan mata kepala sendiri kok, penurunan kualitas benar-benar terjadi, di seluruh 34 provinsi, di semua platform, dan mencakup tidak hanya media kecil tetapi juga media bermodal besar.
***
Saya suka menelusuri berita di media siber melalui Google. Saya memperhatikan media CNBC sering menggunakan kata “kiamat” di judulnya. Misalnya “’Kiamat’ Uang Kertas Beneran Nyata, BI Ungkap Ramalan Baru”, juga “‘Kiamat’ Baru Melanda Malaysia, RI Bisa Menjadi Penyelamat”, “’Kiamat’ Smartphone di Depan Mata, Bill Gates Ungkap Gantinya”. Apakah reporter atau editornya pernah membuka Kamus Bahasa Indonesia?
Kiamat di KBBI ada 4 makna, “hari kebangkitan sesudah mati”; “hari akhir zaman”; “tidak akan muncul lagi”; “celaka sekali”, “bencana besar”, “rusak binasa”. Dari sisi etimologi, kiamat adalah kebangkitan dari alam kubur. Terlihat bahwa penggunakan kata kiamat, berlebihan, kurang tidak tepat maknanya apalagi ini adalah berita ekonomi.
Apakah maksudnya untuk mencari perhatian, silakan saja demi klikbait. Tetapi yang tampak adalah ketidakmampuan untuk mendapatkan istilah yang lebih baik dan lebih pantas. Kecuali itu berita mistik yang dimuat media murahan.
Ada lagi media siber berselera rendah, yang tidak memerhatikan keadaban sosial masyarakat pembacanya. Ini saya temukan di Hops.id, yang membuat judul “15 Tahun Diperkosa Mantan Ardi Bakrie Ini Jadi Janda di Usia 17 Karena Kelainan Seksual Pangeran Malaysia”, “Disetubuhi di Usia 15 Tahun, Manohara Akhirnya Ungkap Identitas Putrinya? Netizen: Anaknya Cantik Ya.”
Judul-judul di atas mengingatkan kita pada “koran kuning” di era media cetak, yang konon sering dibaca bapak-bapak di kantor tetapi lalu dibuang, karena takut terbawa pulang karena isinya yang jorok dan tidak mendidik. Ketika sekarang akses internet dan kepemilikan ponsel sudah mencakup anak usia dini atau pelajar Sekolah Dasar, apakah judul seperti ini pantas dibiarkan? Pers penjaga moral malah jadi perusak moral.
Discussion about this post