Oleh: Wa Limi, S.Pd
Ada perilaku tak biasa terjadi di kalangan remaja masa kini. Perilaku tersebut bahkan bisa disebut sebagai kerusakan mental yang fatal. Seperti ramai diberitakan, seorang siswa SMA di Yogyakarta disebut menjadi korban aksi ‘klithih’, hingga meninggal dunia pada Minggu dini hari (03/04/2022).
Bukan hal yang baru, fenomena klithih tampaknya telah berulang kali terjadi hingga menelan korban jiwa. Tak ayal, Kota Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar dan humanis, berubah menjadi mengerikan (Liputan6.com, 05/04/2022).
Klithih adalah tindakan atau aksi kekerasan jalanan dengan menyasar pengendara motor. Pelaku umumnya remaja/pelajar. Pelaku klithih menyerang orang di jalanan dengan korban dipilih dari masyarakat umum secara acak. Perlahan tapi pasti, fenomena klithih kian mengarah pada tindakan kriminal.
Adapun motif yang mendorong pelaku klithih melancarkan aksinya, beragam. Mulai dari balas dendam, rasa tidak suka, bahkan sekadar iseng atau mencari kegiatan di waktu luang.
Berbeda dengan pelaku begal yang bertujuan merampas harta korban, pelaku klithih cukup puas ketika melihat korbannya terluka. Ia akan meninggalkan korbannya begitu saja, dan dengan bangga menyampaikan keberhasilan itu pada kawanannya, layaknya sebuah prestasi.
Sungguh, fenomena klithih adalah potret buruk remaja muslim dalam bingkai sekularisme. Pun, menggambarkan kondisi mental remaja yang sakit dan sedang tidak baik-baik saja. Padahal, remaja adalah aset bangsa, calon pewaris estafet peradaban.
Lantas, peradaban seperti apa yang akan dihasilkan dari remaja dengan mental yang demikian buruknya? Menyedihkannya lagi, aksi brutal itu dilakukan dalam suasana Ramadhan. Bulan suci nan mulia, bulan penuh rahmat dan ampunan.
Discussion about this post