Organisasi siber pertahanan yang didirikan pada tahun 2017 berfungsi untuk mengoordinasikan upaya keamanan siber di sektor pertahanan.
Tak hanya Singapura, Andi mencontohkan Amerika Serikat dan Cina yang juga sudah membentuk pasukan khusus yang juga khusus konsentrasi khusus ke siber. Amerika Serikat memiliki lima angkatan pertahanan, darat, udara, laut, antariksa, dan cyber war. Salah satu badan keamanan di AS adalah National Security Agency (NSA).
“Saat ini dan kedepan, kekuatan intelijen digital diperlukan untuk secara efektif menangani ancaman digital dari pelaku ancaman eksternal yang diperkirakan akan tumbuh dalam jumlah, kecanggihan, dan organisasi,” tutur Andi.
Beruntungnya tingkat kematangan teknologi di dunia sudah membaik. Meski diakui oleh Andi, masalah utama sekarang ini teknologi digital berkembang lebih cepat dibandingkan arsitektur keamanannya.
“Tapi itupun tidak lamban. Saat Presiden Joko Widodo berkuasa pertama kali belum ada badan siber sama sekali. Pada 2018 kemudian dibentuk badan siber, lembaga sandi negara diubah menjadi badan siber. Hanya dalam waktu empat tahun saja di setiap angkatan ada pusat siber termasuk di kepolisian dan badan intelijen. Tingkat adaptasinya ternyata lebih cepat,” beber dia.
Di Indonesia, lanjut Andi, kerusakan yang terjadi belum sistematis. Padahal selama 2020-2021 saja terjadi 240 juta kali anomali seperti malware, phishing, ransomware, pencurian data hingga gangguan server,” ulas dia.
“Artinya satu bulan 20 juta kali, hampir 1 juta per hari atau ratusan ribu dalam waktu 24 jam saja. Tapi belum ada kan serangan yang merusak secara sistematis dan struktural,” sambung Andi.
Tantangan terbesar untuk membentuk angkatan keempat ini adalah menyiapkan sumber daya manusia yang khusus mempelajari dunia siber.
Ia optimistis penyediaan sumber daya ini akan terpenuhi karena pemerintah sekarang menyediakan banyak fasilitas beasiswa kepada anak-anak muda untuk mempelajari dunia siber.
Discussion about this post