Adapun kelima surat tersebut, yakni Surat No: 135/2036, tanggal 4 Mei 2015 perihal Keberatan Status Pulau Kakabia. Kedua, Surat No: 135/990, tanggal 29 Februari 2016 perihal Keberadaan Status Pulau Kawi-Kawia. Ketiga, Surat No: 135/1991, tanggal 7 Mei 2021 perihal Permintaan untuk Meninjau Kembali dan/atau Mencabut Permendagri Nomor 45 Tahun 2011 tentang Wilayah Administrasi Pulau Kakabia/Kawi-Kawia).
Keempat, Surat No: 019.3/895, tanggal 16 Februari 2022 perihal Permohonan Audience Terkait Keberadaan Status Pulau Kawi-Kawia. Kelima, Surat No: 136/1381, tanggal 16 Maret 2022 perihal Penyelesaian Permasalahan Posisi dan Batas Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara.
Alasan kedua yang dikemukakan Gubernur, bahwa negara Indonesia mengakui Pulau Kawi-Kawia menjadi bagian dari cakupan wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Tenggara yang dibuktikan pada setidaknya delapan dokumen, yakni (1) Peta Lampiran Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 tentang Pembentukan Kabupaten Buton Selatan di Provinsi Sulawesi Tenggara; (2) Hasil Keputusan Mahkamah Konstitusi No: 24/PUU-XVI/2018; (3) Fakta sejarah yang menunjukan bahwa Pulau Kawi-Kawia merupakan wilayah Kesultanan Buton dan Pemerintah Swapraja Buton.
Selanjutnya, dokumen (4) Berita acara beserta lampiran hasil verifikasi Pulau di Provinsi Sultra Tahun 2008; (5) Peta rupa bumi Indonesia Lembar Bukti NLP 2209 edisi 1 Tahun 1997, mencantumkan Pulau Kawi-Kawia sebagai bagian dari wilayah administrasi Kecamatan Sampolawa, Kabupaten Buton (saat ini Kabupaten Buton Selatan).
Berikutnya, dokumen (6) Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar Nomor 5 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Selayar Tahun 2012 – 2032; (7) Peraturan Daerah Kabupaten Buton Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Buton Tahun 2013 – 2033; dan (8) Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 9 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Sulawesi Tenggara.
“Sementara penetapan wilayah administrasi Pulau Kakabia menjadi bagian wilayah adminitrasi Kabupaten Kepulauan Selayar hanya dengan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 45 Tahun 2011,” kata Gubernur Ali Mazi.
Ketika Permendagri 45/2011 tersebut ditetapkan, kata Ali Mazi, Kemendagri tidak pernah mengundang rapat kedua belah pihak antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.
“Sehingga besar dugaan kami, penetapan Permendagri Nomor 45 Tahun 2011 diputuskan secara sepihak, dengan mengesampingkan prinsip musyawarah yang selama ini digunakan oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam menyelesaikan satu permasalahan,” ujar Gubernur Ali Mazi.
Alasan ketiga, lanjut Gubernur Sultra, bahwa menurut ketentuan Permendagri Nomor 1 Tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah, bila terjadi perselisihan batas daerah, maka pihak Kemendagri akan mengundang pihak yang bersengketa untuk membahas dan menuangkan dalam berita acara.
Bila dalam beberapa kali rapat tidak ada kesepakatan maka pihak Kemendagri akan memutuskan/menetapkan berdasarkan pertimbangan dan dokumen yang disampaikan oleh masing-masing pihak.
Discussion about this post