Oleh: Mariana, S.Sos
Masih teringat tentang viralnya kasus guru yang dilaporkan oleh orang tua siswa karena diduga melakukan kekerasan terhadap siswanya, walaupun pada akhirnya mendapat bantahan.
Tugas guru memanglah sangat berat sudahlah harus maksimal dalam mendidik anak, konsekuensinya pun harus ditanggung. Seringkali upaya untuk mendisiplinkan seorang anak justru berujung pada aktivitas pelaporan karena dianggap tindakan kriminal.
Padahal jika ditelisik lebih dalam menjadi guru itu tidaklah mudah. Banyak hal yang harus diurus mulai dari administrasi, memahami materi yang diajarkan, harus mampu mengikuti perkembangan sains dan teknologi supaya tidak gaptek dalam memberikan pengajaran, harus mampu kreatif, harus punya value agar siswa yang diajarnya betah, harus mampu memahami karakteristik serta potensi masing-masing peserta didiknya.
Dapat dibayangkan jika jumlah peserta didiknya ratusan dan guru harus memahami semuanya. Belum lagi harus disibukkan dengan kegiatan ekstrakurikuler, pelatihan dan pengisian di berbagai platform. Maka beban kerja guru komplet.
Ketika ada sedikit gesekan dalam emosinya maka yang salah adalah guru. Padahal guru adalah manusia biasa bukan superhero seperti dalam dunia marvel yang harus selalu sigap dan tanggap dalam segala hal.
Guru terkadang harus menanggung beban mental akibat ulah peserta didiknya yang kelewat batas. Itu pun ketika sedikit memberikan nilai kedisiplinan pada seorang siswa, terkadang guru harus berhadapan dengan orang tua yang tidak mau kompromi.
Sering menyalahkan guru dan bersikap defensif seolah gurulah yang harus taat dan tunduk terhadap apa yang menjadi kemauan siswa dan orang tuanya. Padahal belum tentu orang tuanya mampu untuk mengendalikan satu orang anaknya.
Bahkan tidak jarang guru menghadapi masalah kekerasaan baik oleh siswanya, orang tua atau wali siswa bahkan merasakan dinginnya jeruji besi, hanya untuk menjadikan siswa itu lebih disiplin dan menaati aturan.
Ironis memang disaat guru harusnya diayomi karena menjadi pelita dalam gelapnya pemikiran manusia, tapi nyatanya jasa guru masih saja tergadai dalam belenggu ketidakadilan.
Makin suramnya nasib guru jika dilihat dari beban kerja ternyata tidak sesuai dengan upah yang diberikan berdasarkan data Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan GREAT Edunesia Dompet Dhuafa pada Mei 2024 melakukan survei terhadap 403 guru di 25 provinsi Indonesia terkait upah yang mereka dapat.
Hasilnya menunjukkan bahwa 74 responden memiliki gaji di bawah Rp2 juta dan sebagian lagi di bawah Rp500 ribu.
Sungguh memprihatinkan keadaan guru Indonesia. Sudah gaji tidak mencukupi untuk menghidupi diri sendiri ditambah beban kerja tinggi, harus multi talenta, harus siap mengerjakan apapun sesuai dengan arahan atasan, harus pula mengerjakan berbagai administrasi dan lainnya. Mentalnya pun dibuat down oleh perilaku tidak beretika yang kadang datang dari siswa dan orang tuanya bahkan ancaman hukuman penjara membayangi langkah kaki dan tindakan guru.
Belum lagi lingkungan kerja yang tidak kondusif juga menjadi problem. Banyak sekolah di daerah terpencil yang tidak memiliki fasilitas memadai. Seperti ruang kelas yang layak, akses internet, atau bahan ajar yang cukup.
Data Kemdikbud menunjukkan bahwa sekitar 27 persen sekolah di Indonesia memiliki fasilitas yang sangat terbatas, sehingga memengaruhi kinerja guru dan kualitas pendidikan.
Menjadi Guru Hebat Untuk Visi Indonesia 2045
Discussion about this post