Oleh: Dahlan Iskan
Margiono meninggal dalam tidurnya di tahun baru Imlek kemarin, pukul 09.02 WIB.
Sudah seminggu terakhir, Dirut grup perusahaan di bawah harian Rakyat Merdeka itu ditidurkan. Diberi sedasi.
Dua jam sebelum meninggal, saya masih berkomunikasi dengan anaknya. Menurut dokter, kapan ayahanda dibangunkan? Berapa hari lagi? tanya saya kepada Rivo, anaknya itu.
“Masih belum tahu. Masih belum stabil,” jawab Rivo.
Tentu Rivo hanya bisa memonitor keadaan ayahnya dari rumah. Status positif Covid Margiono membuatnya harus diisolasi. Rivo, alumni Universitas Prasetiya Mulia, kini sudah mulai berbisnis.
Margiono (63) adalah penderita gula darah. Sejak masih berumur 30 an tahun. Sejak masih beristrikan Yu Sri. Kalau makan, seru. Badannya subur. Humornya banyak. Sikapnya sederhana. Sampai menjadi pemimpin redaksi Jawa Pos, ia masih biasa tidur di atas meja, dengan selimut sarung.
Margiono adalah pengganti saya sebagai Pemimpin Redaksi Jawa Pos. Transfer ”kekuasaan” itu dianggap sangat ideal. Selisih umur kami 7 tahun. Itu melambangkan peralihan generasi. Juga dari generasi tidak lulus universitas ke generasi intelektual.
Bersamaan dengan itu sejumlah ”orang tua” di redaksi saya pindahkan ke non-redaksi. Saya tidak ingin Margiono menyandang beban psikologis memimpin ”Angkatan 45”.
Beberapa perusahaan baru saya dirikan agar angkatan 45 itu menyebar. Mereka bisa memimpin perusahaan-perusahaan baru itu.
“Saya mau tetap saja di redaksi. Saya tidak punya kemampuan lain selain menulis,” ujar salah satu generasi itu.
Ia menangis. Tidak mau meninggalkan redaksi. Dua tahun kemudian saya rapat dengannya di perusahaan baru. Saya tanya ia.
“Masih mau kembali ke redaksi? tanya saya.
“Tidak, tidak, tidak. Tidak mau,” jawabnya. “Ternyata saya bisa,” tambahnya. Begitu juga angkatan 45 lainnya.
Di tangan Margiono, Jawa Pos terus maju. Tapi banyak generasi unggul di angkatannya. Yang juga layak menjadi pemimpin redaksi.
“Saya mau kalau ditugaskan memimpin koran baru dimana saja,” katanya. “Biar regenerasi di Jawa Pos terus bergilir,” tambahnya.
Saya tahu alasan tersembunyinya agar tidak terus di bawah bayang-bayang saya.
Mungkin juga karena ia mendengar bahwa saya baru saja dipanggil BM Diah, mantan menteri penerangan yang juga pemilik Harian Merdeka.
Pak Diah minta agar saya mengelola Merdeka yang lagi sangat sulit. “Saya percaya dengan manajemen arek Suroboyo iki,” kata pak Diah mencoba mencampurkan bahasa Jawa.
Waktu itu saya memang minta agar pak Diah tampil didepan seluruh karyawan dan wartawan Merdeka. Agar beliau sendiri yang menjelaskan mengapa menunjuk saya dan bukan ke anaknya sendiri.
Pak Diah pun mengumpulkan karyawan di rumah beliau. Di sekitar kolam renang. Dengan gaya pidatonya yang agitatif dan penuh humor. Pak Diah menguraikan alasan mengapa memilih saya.
Discussion about this post