Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Abdul Manan dalam Dialog Pers Menjawab yang disiarkan langsung oleh Stasiun TVRI, menyampaikan hasil survei AJI mengenai kondisi media massa di Indonesia.
Survei dilakukan terhadap 400 wartawan yang bekerja di 77 media massa dan tersebar di 17 provinsi. Salah satu data yang diperoleh dari survei ini, Manan menyebutkan, ternyata 25% wartawan saat ini mendapat gaji rata-rata Rp.1–Rp.1,3 juta perbulan. Bahkan ada yang masih menerima gaji di bawah Rp.200 ribu perbulan.
AJI sendiri, menurut Manan, telah menetapkan gaji layak bagi wartawan sebesar tiga kali UMP. Gaji tersebut sebanding dengan tanggung jawab wartawan yang besar. “Berita wartawan sangat menentukan banyak orang,” katanya.
Penelusuran tim SMSI Banjarmasin di lapangan yang mewawancarai 48 orang wartawan di Kota Banjarmasin, menemukan masih ada wartawan yang tidak mendapatkan gaji tetapi hanya honor per berita yang berkisar antara 15-25 ribu per berita yang terbit.
Ada juga wartawan yang hanya mendapatkan bagi hasil dari iklan dan kontrak publikasi dari instansi yang berkisar antara 10-50 % dari nilai iklan dan kontrak publikasi, untuk nilai bagi hasil 50 % biasa disebut dengan istilah “belah semangka”.
Selain itu, hasil penelusuran SMSI Banjarmasin di lapangan juga masih ada perusahaan media yang sudah terverifikasi faktual oleh Dewan Pers, masih memberikan gaji untuk “pucuk pimpinan nadi jurnalistiknya” yaitu Pemimpin Redaksi, masih senilai dengan UMP saja. Bisa kita bayangkan berapa gaji untuk pekerja dan khususnya “kuli tinta” yang jabatannya dibawah Pemimpin Redaksi.
Kondisi itu cukup ironis, mengingat gaji setara UMP di perusahaan-perusahaan media besar arus utama adalah setara untuk pegawai baru atau bahkan “kuli tinta” junior saja.
Kondisi seperti ini memang cukup memprihatinkan, sehingga mengakibatkan sebagian “kuli tinta” yang tidak memiliki gaji atau hanya bergaji rendah mengharapkan penghasilan tambahan atau “amplop” dari narasumber, yang biasa disebut “stabil”.
Stabil dari narasumber adalah “rezeki” yang tidak bisa ditolak, “amplop kestabilan” ini cukup untuk menambah kepulan asap dapur rumah tangga para “kuli tinta” sehari-hari.
“Amplop kestabilan” juga menjadi parameter skala prioritas liputan bagi para “kuli tinta”, dimana liputan yang “stabil” lebih diutamakan untuk diliput daripada liputan yang “tidak stabil”.
Melihat situasi seperti ini, dengan kemajuan teknologi di era sekarang ini, sudah banyak “kuli tinta” dengan memanfaatkan kemudahan teknologi untuk mendirikan perusahaan media sendiri dengan bentuk media siber atau media online.
Para “kuli tinta” pun naik kelas menjadi pengusaha media, walaupun karena masih rintisan masih banyak yang dikelola dengan model CEO (plesetan Chief Executice Officer menjadi Chief Everyting Officer, red) atau bisa dikatakan dia pemilik perusahaan, dia jua yang jadi pemimpin redaksinya, dia juga wartawannya, dia juga marketingnya.
Sebenarnya naik kelasnya Kuli Tinta menjadi pengusaha media adalah sebuah kemajuan intelektual bagi bangsa ini, sehingga perusahaan pers sebagai “kontrol sosial” menjadi semakin banyak dan merata ke daerah-daerah.
Selain itu, naik kelasnya Kuli Tinta menjadi pengusaha media juga menjadi peluang usaha baru untuk generasi milenial dan zilenial dalam menghadapi era kemajuan teknologi yang semakin kejam dengan profesi-profesi tradisional.
Hanya saja, naik kelasnya Kuli Tinta menjadi pengusaha media juga perlu diimbangi dengan mental dan mindset entrepreneurship, sehingga perusahaan media rintisan yang dikelola oleh “kuli tinta” ini bisa memaksimalkan potensi-potensi pendapatan perusahaan media.
Discussion about this post