Ini bukan permohonan simpati bagi jurnalis (komoditas yang pasokannya diakui terbatas), melainkan untuk misi jurnalisme –untuk menggambarkan peristiwa dengan cara yang paling akurat yang dapat mereka gambarkan, untuk mengungkap kebenaran sebaik mungkin.
Ini bisnis yang berantakan, dan jurnalis tidak pernah menjalankan misi itu dengan sempurna. Tapi ambisi, yang diulang setiap hari, itulah yang membedakan jurnalisme dari propaganda partisan.
Misi itu menjadi lebih penting dari sebelumnya dalam lingkungan digital di mana media sosial mengobarkan perpecahan dan mempercepat penyebaran propaganda, dan pemerintah yang memusuhi demokrasi menggunakan alat tersebut untuk tujuan jahat.
Tidak separah sebelum era digital namun sama korosifnya dengan ekonomi bisnis berita yang berubah dengan cepat. Puluhan publikasi yang lebih kecil telah ditutup atau dimusnahkan karena kue-kue iklan telah bermigrasi secara massal ke platform digital Big Tech.
Semua redaksi sektor swasta harus menghadapi kenyataan bahwa model bisnis abad ke-20 telah hilang untuk selamanya. Kabar baiknya adalah konsumen berita yang membayar, yang belum pernah ada sebelumnya, menjadi fondasi ekonomi jurnalisme. Berita buruknya adalah jumlahnya tidak cukup.
Mengintai di tikungan adalah potensi gangguan yang lebih besar: kecerdasan buatan (AI). Kepalsuan mendalam hari ini hanyalah tindakan pembuka dari sebuah teknologi yang dapat segera memperoleh kekuatan untuk membuat kenyataan. Bagaimana mungkin warga biasa menyaring, dan melihat melalui kebohongan itu?
Jawabannya adalah – jurnalisme, dan dedikasi bersama pada kebenaran oleh mereka yang menulis dan menyiarkan berita, dan oleh mereka yang membaca dan menontonnya.(***)
Penulis adalah Ketua Umum Forum Pemred Media Siber Indonesia
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post