Oleh: Hamlin S. Ode Maka, S.Si, S.Pd
Hari Lebaran Idulfitri 1444 Hijriah umat muslim berkumpul kembali, duduk bersimpuh di atas sajadah untuk melaksanakan salat Idulfitri. Secara bersama-sama menggemakan pujian Keagungan kepada Allah, sehingga bumi dan langit di sekitarnya gemuruh syahdu dengan suara takbir, tahlil dan tahmid.
Setelah itu, umat Islam di seluruh dunia serentak sujud, meratakan dahi di atas lantai yang dingin, sembari berdoa memuji Allah Rabbul Izzah.
Denyut jantung menyentuh qalbu yang fitrah, membuat kita larut semakin tak berdaya, terasa berlinang air mata kegembiraan dan keharuan. Bergembira karena hari itu adalah hari kemenangan dan kebahagiaan. Rasa haru karena kita kembali merenungkan perjuangan dan pengorbanan yang selalu seiring dengan kehidupan manusia.
Bulan Ramadan telah meninggalkan semua umat Islam, banyak pesan dan kesan yang melekat di hati sanubari. Hari kemenangan Idulfitri yang rayakan ibaratnya sebagai puncak proses daur ulang terhadap perjalanan rohani kamu muslim.
Sebelas bulan sebelumnya, warga muslim telah menempuh perjalanan hidup, mendaki menyelesaikan permasalahan dan menurun menikmati keberhasilan, berlari mengejar kesuksesan dan berdiam diri menyesali kegagalan.
Bulan puasa telah mendidik kita untuk bersikap yang luhur, mengendalikan diri, menahan hawa nafsu, menahan amarah yang tak tentu arah, maka akan berdampak melahirkan sikap mental yang perwira.
Puasa Ramadan yang telah dilaksanakan sebulan penuh hendaknya membekas dan berkesan di dalam kehidupan. Masyarakat muslim harus melestarikan nilai-nilai ritual dan spiritual Ramadan di luar bulan Ramadan. Karena puasa yang sesungguhnya adalah puasa diluar bulan puasa yaitu puasa menghadapi kehidupan.
Hari ini semua umat muslim telah merayakan Idulfitri dengan perasaan gembira dan haru. Kita gembira karena dapat berlebaran dengan keluarga yang utuh. Namun rasa haru karena ada diantara saudara-saudara kita yang hari ini berlebaran tanpa salah satu keluarga yang dicintai. Allah telah memanggilnya untuk menghadap keharibaan sang pencipta.
Dihari yang fitri anak-anak bergembira berlebaran dengan memakai pakaian baru pembelian ayah, dan menikmati lezatnya makanan masakan ibu. Dalam sebuah kisah di tengah keriangan anak-anak kecil bermain di jalan ketika Rasulullah SAW keluar rumah untuk melaksanakan salat Idulfitri, tampak seorang anak kecil duduk menjauh berseberangan dengan anak-anak yang sedang bermain riang gembira.
Dengan pakaian sangat sederhana dan tampak murung, ia menangis tersedu.
Melihat fenomena ini Rasulullah segera menghampiri anak tersebut dan menyapa, “Nak, mengapa engkau menangis? Mengapa Kau tidak bermain bersama mereka?”.
Anak kecil yang tidak mengenali bahwa orang dewasa di hadapannya adalah Rasulullah menjawab, “Paman, ayahku telah wafat. Ia mengikuti Rasulullah dalam menghadapi musuh di sebuah pertempuran. Tetapi ia gugur dalam medan perang tersebut.” Kemudian ibuku menikah lagi. Ia memakan warisanku, peninggalan ayah. Sedangkan suaminya mengusirku dari rumahku sendiri.
Kini aku tak memiliki apa-apa, tidak punya makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Aku bukan siapa-siapa. Tetapi hari ini, aku melihat teman-teman sebayaku merayakan hari raya bersama ayah mereka. Perasaanku dikuasai oleh nasib kehampaan tanpa ayah. Untuk itulah aku menangis.”
Mendengar penuturan ini, batin Rasulullah terenyuh. Rasulullah segera menguasai diri. Rasul yang duduk berhadapan dengan anak ini segera menggenggam lengannya. “Nak, dengarkan baik-baik. Apakah kau sudi bila aku menjadi ayah, Aisyah menjadi ibumu, Ali sebagai paman, Hasan dan Husein sebagai saudara, dan Fatimah sebagai saudarimu?” tanya Rasulullah.
Discussion about this post