Ketiga, meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Terkait SDM, Jokowi menekankan Indonesia juga harus bisa memanfaatkan bonus demografi Indonesia yang akan terjadi pada tahun 2030 mendatang di mana sebanyak 68,3 persen dari total penduduk Indonesia masuk usia produktif.
“Indonesia emas tidak bisa hadir otomatis, tapi sekali lagi butuh direncanakan dengan baik, butuh fokus yang sama, butuh panduan, butuh haluan. Sehingga saya harap RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, red) yang diluncurkan ini dapat menjadi pedoman kita bersama. Apa sih pedoman kita? Ada di situ,” tuturnya.
“Terlepas dari itu semua, bagaimana pun baiknya sebuah perencanaan, akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan kemampuan eksekusi yang baik, tidak ada artinya. Oleh sebab itu untuk mencapai Indonesia emas 2045, harus ada smart execution. Dan dibutuhkan smart leadership oleh strong leadership yang berani dan pandai mencari solusi, dan yang punya nyali,” tegasnya.
Seberapa Besar Peluang Indonesia Menjadi Negara Maju?
Senada dengan Jokowi, Ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal mengungkapkan tidak mudah bagi Indonesia untuk menjadi negara maju pada 2045 mendatang. Berdasarkan hitungan dari Bappenas misalnya, jika ingin menjadi negara maju pada tahun itu, pertumbuhan perekonomian tanah air harus mencapai enam bahkan tujuh persen mulai tahun 2025.
“Bisa (menjadi negara maju) tapi dengan esktra kerja keras dan konsistensinya betul-betul dilakukan karena ini target jangka panjang. Konsisten harus dilakukan selama 20 tahun. Untuk mencapai enam persen itu pertumbuhan rata-rata, bukan di 2045 nya yang mencapai enam persen, tapi dari 2025 harus sudah enam persen rata-rata sampai 2045 selama 20 tahun. Berarti harus ada kerja ekstra keras, bukan bussiness as usual yang harus dilakukan,” ungkap Faisal.
Memang hilirisasi industri, kata Faisal, menjadi faktor penting untuk mengantarkan Indonesia menjadi negara maju. Namun, seiring dengan dilakukannya hilirisasi industri tersebut Indonesia juga harus menghadapi tuntutan dari negara lain yang terdampak dari kebijakan tersebut, salah satunya gugatan Uni Eropa di WTO terkait pelarangan ekspor nikel mentah.
“Ini berarti harus ada penyiapan dari berbagai macam aspek, misal dari diplomasi perdagangan kita yang harus diback up dengan riset dan data yang memperkuat posisi kita dalam berargumentasi di level internasional,” jelasnya.
Discussion about this post