<strong>Oleh: AMR</strong> “<em>Saat dihubungi, kepala desa A tak mau menjawab panggilan telepon wartawan <a href="http://pareare.com">pareare.com</a></em>” “<em>Saat jurnalis media ini menelepon pejabat B, teleponnya tidak aktif</em>,” “<em>Ketika dikonfirmasi, kepala dinas C tak bisa dihubungi</em>,” Pernah baca tulisan semacam itu di sebuah artikel berita? Biasanya ini ada di penghujung tulisan, dan dominan muncul di portal media online. Itu berarti, persoalan yang diceritakan dalam berita gagal mendapatkan konfirmasi dari pihak lain. Dengan dalih si jurnalis sudah menelepon atau berusaha menemui nara sumber, tapi gagal, makanya “tak bisa dihubungi” jadi alasan pembenar. Apakah ini boleh? Tergantung konteks beritanya. Tapi jika saya yang menjadi editor dari tulisan itu, maka ia tak akan pernah lolos terbit sampai upaya konfirmasi bisa dilakukan. Prinsip utama sebuah berita, apalagi bila itu mengandung sorotan, dugaan atau tudingan adanya pelanggaran norma maka keberimbangan berita adalah hal yang niscaya dan tidak boleh diabaikan dengan dalih apapun. Kaidah jurnalistik menempatkan <em>cover both side</em> alias keberimbangan sebagai hal yang tak boleh diabaikan. Saya termasuk orang yang tegak lurus menuntut ini, baik saat saya masih bekerja di media ataupun saat sekarang jadi penikmat tulisan-tulisan berita dari para jurnalis muda. Saya paling sering kritis di forum-forum diskusi online, bila melihat ada artikel yang abai pada prinsip ini. Bukan sekali dua saya menemukan konsep “tak bisa dihubungi” yang jadi dalih para jurnalis muda-bahkan yang sudah senior-saat menulis. Padahal ini sama saja menunjukan kemalasan, serta tidak tangguhnya seorang jurnalis dalam melakukan proses konfirmasi lalu berlindung dibalik kata “tak bisa dihubungi” itu. Kepala Desa mendadak dituding menyelewengkan dana desa, lalu karena sang pejabat tak bisa ditelepon, dijadikan alasan. Beritanya ditulis dan disebarluaskan. Pejabat di dinas, dituding melakukan praktik manipulasi proyek lalu karena teleponnya tak diangkat, atau ketika ke kantornya, sang pejabat tidak ada, dijadikanlah pembenar untuk menulis. Ini payah. Bagaimanapun menariknya artikel anda, seseksi apapun isunya, bahkan seekslusif apapun liputanmu, tidak boleh mengabaikan proses konfirmasi itu. Negara ini tidak akan bubar, bila anda menunda menulis dan menerbitkannya di koran atau di portal berita. Percuma mengejar klik bait, sia-sia mencari <em>viewer</em> bila dilakukan dengan cara-cara tak beradab itu. <blockquote class="instagram-media" style="background: #FFF; border: 0; border-radius: 3px; box-shadow: 0 0 1px 0 rgba(0,0,0,0.5),0 1px 10px 0 rgba(0,0,0,0.15); margin: 1px; max-width: 540px; min-width: 326px; padding: 0; width: calc(100% - 2px);" data-instgrm-captioned="" data-instgrm-permalink="https://www.instagram.com/p/CWqndZ9vbFS/?utm_source=ig_embed&utm_campaign=loading" data-instgrm-version="14"> <div style="padding: 16px;"> <div style="display: flex; flex-direction: row; align-items: center;"> <div style="background-color: #f4f4f4; border-radius: 50%; flex-grow: 0; height: 40px; margin-right: 14px; width: 40px;"></div> <div style="display: flex; flex-direction: column; flex-grow: 1; justify-content: center;"> <div style="background-color: #f4f4f4; border-radius: 4px; flex-grow: 0; height: 14px; margin-bottom: 6px; width: 100px;"></div> <div style="background-color: #f4f4f4; border-radius: 4px; flex-grow: 0; height: 14px; width: 60px;"></div> </div> </div> <div style="padding: 19% 0;"></div> <div style="display: block; height: 50px; margin: 0 auto 12px; width: 50px;"></div> <div style="padding-top: 8px;"> <div style="color: #3897f0; font-family: Arial,sans-serif; font-size: 14px; font-style: normal; font-weight: 550; line-height: 18px;">View this post on Instagram</div> </div> <div style="padding: 12.5% 0;"></div> <div style="display: flex; flex-direction: row; margin-bottom: 14px; align-items: center;"> <div> <div style="background-color: #f4f4f4; border-radius: 50%; height: 12.5px; width: 12.5px; transform: translateX(0px) translateY(7px);"></div> <div style="background-color: #f4f4f4; height: 12.5px; transform: rotate(-45deg) translateX(3px) translateY(1px); width: 12.5px; flex-grow: 0; margin-right: 14px; margin-left: 2px;"></div> <div style="background-color: #f4f4f4; border-radius: 50%; height: 12.5px; width: 12.5px; transform: translateX(9px) translateY(-18px);"></div> </div> <div style="margin-left: 8px;"> <div style="background-color: #f4f4f4; border-radius: 50%; flex-grow: 0; height: 20px; width: 20px;"></div> <div style="width: 0; height: 0; border-top: 2px solid transparent; border-left: 6px solid #f4f4f4; border-bottom: 2px solid transparent; transform: translateX(16px) translateY(-4px) rotate(30deg);"></div> </div> <div style="margin-left: auto;"> <div style="width: 0px; border-top: 8px solid #F4F4F4; border-right: 8px solid transparent; transform: translateY(16px);"></div> <div style="background-color: #f4f4f4; flex-grow: 0; height: 12px; width: 16px; transform: translateY(-4px);"></div> <div style="width: 0; height: 0; border-top: 8px solid #F4F4F4; border-left: 8px solid transparent; transform: translateY(-4px) translateX(8px);"></div> </div> </div> <div style="display: flex; flex-direction: column; flex-grow: 1; justify-content: center; margin-bottom: 24px;"> <div style="background-color: #f4f4f4; border-radius: 4px; flex-grow: 0; height: 14px; margin-bottom: 6px; width: 224px;"></div> <div style="background-color: #f4f4f4; border-radius: 4px; flex-grow: 0; height: 14px; width: 144px;"></div> </div> <p style="color: #c9c8cd; font-family: Arial,sans-serif; font-size: 14px; line-height: 17px; margin-bottom: 0; margin-top: 8px; overflow: hidden; padding: 8px 0 7px; text-align: center; text-overflow: ellipsis; white-space: nowrap;"><a style="color: #c9c8cd; font-family: Arial,sans-serif; font-size: 14px; font-style: normal; font-weight: normal; line-height: 17px; text-decoration: none;" href="https://www.instagram.com/p/CWqndZ9vbFS/?utm_source=ig_embed&utm_campaign=loading" target="_blank" rel="noopener">A post shared by Penasultra.id (@penasultra.id)</a></p> </div></blockquote> <script async src="//www.instagram.com/embed.js"></script> Lalu apa yang bisa dilakukan? Hanya dengan tiga cara. Pertama, konfirmasi. Kedua, konfirmasi dan ketiga ya konfirmasi. Lakukan proses ini dengan sebenar-benarnya. Tak bisa dihubungi, ya temui. Tak bisa ditemui ya kejar dimana sumbermu bisa ditemukan. Jangan duduk di warkop, menekan keypad Ponsel lalu karena terdengar panggilan tertolak, atau pesan WA-mu hanya tercentang satu jadi alasan untuk menulis “tak bisa dihubungi”. Saya ingin berbagi pengalaman saat mengikuti uji kompetensi wartawan, delapan tahun lalu. Saya mendapat tugas menghubungi Kapolda Sultra, demi menanyakan sesuatu. Ini relatif mudah karena sang jenderal, mau mengangkat telepon dan memberi penjelasan meski sebelumnya saya tidak mengenalnya secara personal. Seorang senior justru mendapat tantangan lebih berat. Diminta menghubungi Gubernur Sultra. Tentu saja sulit tembus langsung. Ia menggunakan cara lain. Ia mulai dengan memastikan posisi gubernur. Setelah informasi ini diperoleh, ia mengidentifikasi siapa saja yang sedang bersama sang pejabat di saat itu. Secara berjenjang, ia akhirnya bisa berbicara dengan gubernur lewat telepon. Begitu caranya. Beberapa tahun silam, terjadi sebuah peristiwa pembunuhan di Kota Kendari. Terduga pelakunya dikabarkan tertangkap di sebuah Polsek di Kepulauan Sula, Maluku. Saya ingin mengejar informasi ini, karena ekslusif. Polres Kendari tak berani memastikan apapun, karena mereka baru akan mengecek langsung ke lokasi. Sebagai wartawan, saya ingin mendahului. Pertama, saya identifikasi dulu posisi Polseknya termasuk dibawah Polres apa. Saya lalu menghubungi orang di Maluku, apakah punya kenalan polisi di Polres Kepulauan Sula. Segala cara diupayakan, secara berjenjang hingga akhirnya saya bisa berbicara dengan pejabat polisi di Polsek itu yang membenarkan adanya tangkapan tersebut. Saat itu belum ada Ponsel pintar, baru Nokia 3310, yang pulsanya mesti 100 ribu sekali isi. Setidaknya ini menunjukan, dengan keterbatasan sarana komunikasi, upaya konfirmasi itu tetap harus dilakukan dengan cara apapun, dan sesulit apapun. Jangan pernah menyerah lalu mengandalkan “tak bisa dihubungi”. Lalu dengan dalih itu, beritanya kemudian ditayangkan hingga banyak orang ikut menduga, menuding sang pejabat melakukan pelanggaran tanpa ia bisa membela diri di tulisan itu. Zalim namanya. Kan ada namanya hak jawab? Saya tetap tidak bisa menerimanya. Kenapa? Nantilah saya bahas itu. Saya fokus dulu nonton Indonesia Open, ada partai menarik di sektor ganda campuran.(<strong>***)</strong> <strong>Penulis: Penyuka Kopi</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://youtu.be/oA-ImlcJNQY
Discussion about this post