<strong>Oleh: AMR</strong> Jagad maya di Bombana riuh usai Akun Adimarno Bate Mbue Ea memosting sebuah foto sampul buku Kamus Bahasa Daerah Suku Kabaena. Ia melambari foto itu dengan caption “Alhamdulillah kamus bahasa daerah Suku Tokotua Kabaena telah selesai”. Seketika, postingan itu menuai kontroversi. Sang pemilik akun diserang netijen. Ia dianggap “mendeklarasikan” suku baru, saat selama ini semua orang menganggap Kabaena itu adalah bagian dari suku Moronene. Ratusan tanggapan muncul di kolom komentarnya. Macam-macam narasinya. Mayoritas berpandangan bila tidak pernah ada dalam literatur sejarah dan budaya bahwa Kabaena atau Tokotu’a itu adalah suku terpisah dari Moronene. Sejak dahulu, ini adalah entitas yang sama hanya dipisah geografis. Dogmatis sifatnya. Kabaena itu di kepulauan tapi masih satu etnis yakni Moronene. Uniknya, dihujat dari segala penjuru hingga dianggap tak lagi waras, sang pemilik akun anteng saja. Ia pantang surut. Kukuh dengan keyakinannya. Sendiri pula. Diskusi soal suku Moronene dan Tokotua Kabaena akhirnya menghilangkan esensi dari lahirnya buku itu. Saya yang minim pengetahuan budaya dan sejarah ini tak mau ikut-ikutan kontroversinya. Bagi saya itu bukan sesuatu yang penting diperdebatkan. Tidak mendatangkan pahala, bahkan berpotensi jadi dosa karena menghujat orang. Satu hal yang pasti, saya dilahirbesarkan di Pulau Kabaena. Meminum air dari pulau itu, menikmati tanah suburnya, dan hanya fasih menggunakan bahasa yang dijadikan alat komunikasi masyarakat pulau itu. Bukan yang lain. Sayangnya, saya belum melihat secara fisik isi buku yang judulnya kontroversi tersebut. Harapan saya, buku itu memang merajah ribuan kata yang sehari-hari digunakan masyarakat Pulau Kabaena, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun saat prosesi adat tertentu. Makanya, saya menyambut gembira bila benar-benar buku itu ada, dengan isi khusus soal kata-kata dalam dialektika Kabaena. Kalau soal dikotomi suku, saya berlepas diri. Tidak mau ikut-ikutan. Setahun lalu tepatnya, saya sempat mengikuti sebuah diskusi virtual soal kebahasaan. Salah satu sumber diskusi adalah Prof La Ode Sidu. Ia seorang akademisi UHO yang khusus mempelajari soal bahasa. Kompentesinya tak usah diragukan. Diskusi itu amat menggembirakan, meski agak larut saya menyimaknya. Mengulas soal bahasa dan kebahasaan ternyata luar biasa. Banyak perspektif baru yang saya peroleh dari mengikuti paparan itu. Menurut Prof Sidu, bahasa itu ada tiga kategori. Pertama, bahasa hidup. Kedua bahasa mati, ketiga bahasa punah. Bahasa hidup itu, adalah bahasa yang masih digunakan orang untuk berkomunikasi sehari-hari. Bahasa mati itu adalah bahasa yang masih ada di masyarakat tapi tidak atau jarang digunakan lagi. Ia bisa hidup kembali karena sudah terdokumentasi dan ada naskahnya. “Ada kamusnya,” tandas Prof Sidu. Sedangkan bahasa punah adalah bahasa yang penuturnya sudah tidak lagi ditemukan, dan juga tidak ada naskah yang mengikatnya. Sang Prof mencontohkan satu jenis bahasa di Papua, yang penuturnya tersisa dua orang dan itu bisa segera punah karena ternyata tidak pernah terarsipkan. Tahu apa yang mengganjal di hati saya setelah diskusi bubar saat itu? Saya sedang merisaukan kampung saya, Kabaena. Kami punya bahasa ibu yang disebut sebagai “<em>Hartia Ntokotu’a</em>” atau Bahasa Kabaena. Kekhawatiran bakal jadi bahasa mati bahkan punah mendadak menyeruak. Saya lantas menghubungi beberapa orang yang lumayan peduli dengan hal semacam ini. Bertanya soal kamus Bahasa Tokotu’a. “Kamus Bahasa Kabaena itu belum ada,” ujar Ilfan Nurdin, kawan saya yang punya banyak pengetahuan soal budaya dan tradisi lisan di Pulau Kabaena kala saya menghubunginya setahun lalu. Setahunya, hanya Bahasa Moronene yang sudah terdokumentasi baik dalam bentuk kamus. Bahkan sudah jadi pelajaran muatan lokal di sekolah dasar di Bombana. Dengan segala hormat, saya merasakan betul adanya perbedaan berbagai kata dalam bahasa di Moronene daratan dengan yang kami gunakan di Pulau Kabaena, dalam bahasa sehari-hari. Dalam satu kalimat yang dilisankan saudara-saudara saya di daratan, secara utuh saya memahaminya tapi terasa ada perbedaan saat diucap. Dr Johannes Elbert, seorang geologis asal Jerman yang sempat mengunjungi Kabaena dan Rumbia di tahun 1909 punya catatan tersendiri soal bahasa dua wilayah ini. Dalam buku Die Sunda Expedition yang ia tulis dan terbit tahun 1912 mencatat beberapa perbedaan-lebih tepatnya perubahan vocal atau konsonan-dalam diksi dua wilayah ini. Kata “bawa”, di Moronene disebut “<em>tantio</em>” sementara di Kabaena jadi “<em>tankio</em>”. Kata “jauh” di Rumbia dilisankan “<em>mentara</em>” di Kabaena “<em>mentala</em>”. Itu sebagian yang dicatat Elbert. Sebenarnya tak perlu jauh-jauh mengkaji catatan Elbert. Saya yang tiga tahun terakhir ini hidup di Rumbia dan sering berinteraksi dengan saudara saya dari Moronene daratan merasakan beberapa perbedaan itu. (Mohon koreksi bila saya keliru menyebut kata). Untuk meminta orang untuk tidak ribut, di Rumbia itu dilisankan “<em>sie mogora</em>”. Di Kabaena, malah jadinya “<em>sie morobo</em>”. Kata “<em>petila</em>” di Kabaena berarti “sesuatu yang sama atau identik". Sedangkan di Rumbia, itu berarti saudara dan hanya ditujukan untuk orang. Kata jangan menangis, di Rumbia diucap “<em>sie mewowo</em>” sedangkan di Kabaena “<em>sie bebera</em>”. Kata “makan” misalnya, saudara saya di daratan menyebut diksinya sebagai “<em>tewawe</em>”, sementara orang Kabaena menyebut itu “<em>mongka</em>” dengan “a” yang agak panjang. Kata “di sini”, di darat itu dilisankan “<em>na’ai</em>”, sedangkan di Kabaena itu diucap “<em>dirumai</em> atau <em>diceena</em>”. Merokok misalnya, di Kabaena lazimnya itu diucap “<em>meahu</em>” tapi di daratan Moronene itu diujarkan jadi “<em>molulu</em>”. Tentu banyak lagi kata-kata yang tidak sama. Itu belum bahasa di pertemuan adat pernikahan, biasanya lebih sulit lagi. Tanda-tanda akan matinya bahasa Kabaena ini sudah ada. Penutur bahasa ibu di pulau kaya nikel itu hanya ada di masyarakat yang bermukim di beberapa kampung purba, di dataran tinggi. Warga di Desa Tangkeno, Tirongkotua, Rahadopi masih dominan menggunakan “<em>Hartia Ntokotua</em>” dalam keseharian. Itupun hanya mereka yang usianya diatas 25 tahunan. Remaja dan anak-anak? Rata-rata berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia dalam interaksi keseharian, atau diselingi Bahasa Kabaena. Di dataran rendah, sudah kian sulit menemukan kerumunan orang yang berkomunikasi dengan Bahasa Kabaena. Bilapun ada, seringkali dibaurkan juga dengan Bahasa Indonesia. Akulturasi budaya dengan saudara kami dari jazirah selatan Sulawesi, apalagi bila sudah terikat pernikahan, kian sulitlah Bahasa Kabaena langgeng. Anak-anak yang lahir dari pernikahan antar kultur ini, berkomunikasi dengan orang tuanya menggunakan Bahasa Indonesia. Sedangkan mereka yang berdiam dan membangun peradaban di pesisir Pulau Kabaena justru sama sekali tidak lagi menggunakan Bahasa Kabaena. Mereka mungkin paham arti, tapi tidak punya trigger untuk mengenal apalagi mengucap Bahasa Kabaena. Satu-satunya tempat dimana anda bisa menikmati tuturan halus dan penuh makna Bahasa Kabaena yakni saat acara pernikahan. Urusan adat, antara kandidat mempelai pria dan wanita dibahas dengan Kabaena tulen. Bagaimana caranya agar Bahasa Kabaena itu bisa lestari? Pertama tentu saja harus segera dinaskahkan dengan baik. Mesti ada dokumentasi sejarah tentang ini, paling tidak bilapun dia mati, masih bisa hidup lagi. Bagi saya, naskah yang sedang atau bahkan telah disusun dalam buku oleh akun bernama Adi Marno itu adalah sebuah terobosan dan langkah maju. Nanti dinilai secara akademis sebagai alat ujinya, apakah memang layak disebarluaskan atau tidak. Selain dinaskahkan, opsi lain agar bahasa itu lestari adalah harus sering ada input alias interaksi berbahasa daerah di lingkungan keluarga. Anak-anak mesti dibiasakan mengenal bahasanya. Buatlah mereka bukan saja mendengar, tapi mendengarkan dan menyimak. Sering-seringlah perdengarkan bahasa ibu dalam keseharian. Itu yang disebut input. Nah, outputnya adalah ajak mereka berkomunikasi atau bawa ke sebuah komunitas yang berinteraksi dengan bahasa ibu. Ilustrasinya, berenang itu, bukan hanya diajar teori tapi bawa ke kolam renang sekalian. Sama dengan berbahasa, bukan diajar teorinya tapi praktikan.<strong>(***)</strong> <strong>Penulis: Penyuka Kopi</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://www.youtube.com/watch?v=Ps-xFmOakWI
Discussion about this post