Masyarakat yang menganut sistem patriarki meletakkan laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang dominan dibandingkan perempuan sehingga perempuan tidak memiliki pilihan atas tubuh dan hidupnya. Termasuk dalam hal memutuskan kapan perempuan ingin hamil, bagaimana ia merawat kehamilannya, bagaimana ia bersalin, dan sebagainya. Seolah perempuan mahluk tidak berdaya yang tidak memiliki otonomi penuh atas tubuhnya sendiri.
Pada komunitas dengan budaya tertentu, anak laki-laki sering kali dianggap memiliki nilai lebih tinggi dibanding anak perempuan. Nilai-nilai ini diajarkan secara turun menurun dan terbentuk dari hasil sosialisasi baik dalam lingkungan keluarga, di sekolah maupun interaksi dengan masyarakat. Hal ini turut mempengaruhi pola asuh dan pemenuhan kebutuhan anak seperti hak atas kesehatan dan pendidikannya.
Perempuan sering kali dinilai dari fungsi reproduksinya sebagai contoh nilai perempuan yang ideal adalah perempuan yang bisa melahirkan dan menyusui. Padahal proses kehamilan harus terjadi karena adanya laki-laki dan perempuan. Masih banyak perempuan di negeri ini yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan akan kesehatannya.
Ketidaksetaraan gender turut mempengaruhi pola pikir kalangan profesi kesehatan. Praktisi kesehatan umumnya melihat persoalan kesehatan perempuan semata-mata menyangkut masalah klinis semata tanpa berupaya menggali isu non-klinis yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan perempuan.
Mereka juga tidak melihat adanya kebutuhan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kalaupun berbeda hanya saat perempuan hamil dan melahirkan. Karena itu pendidikan bagi calon profesi kesehatan yang sedianya memberikan layanan kesehatan perempuan hendaknya tidak hanya menggunakan “kaca mata” medis klinis.
Reproduksi Perempuan Sebagai HAM
Penyelenggara pendidikan bagi profesi kesehatan juga perlu mengedukasi peserta didiknya agar memiliki kepekaan terhadap situasi sosial, gender dan menghargai hak reproduksi perempuan sebagai hak asasi manusia (HAM), sehingga pasca pendidikan, tenaga kesehatan peka terhadap relasi kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, budaya, serta nilai-nilai dan isu sosial lainnya yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan perempuan tempat ia bertugas.
Para tenaga kesehatan juga diharapkan mampu memberikan pendidikan kesehatan untuk memberdayakan perempuan, sehingga setiap perempuan dapat menentukan pilihan atas tubuhnya termasuk dalam hal merencanakan kehamilan yang sehat, mempersiapkan persalinan yang aman serta menghindari risiko kehamilan tidak diinginkan.
Kematian ibu dapat dicegah jika perempuan mendapatkan layanan kesehatan berkualitas tanpa mengabaikan pentingnya pendidikan kesehatan perempuan yang komprehensif.(***)
Penulis adalah Ketua POGI periode 2003–2009, Pembina Yayasan Pendidikan Kesehatan Perempuan (YPKP)
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post