Berdasarkan penelitian Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) pada tahun 2016–2018, diketahui beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kematian ibu antara lain: kualitas pelayanan kesehatan; sistem rujukan; implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN); kebijakan pemerintah daerah; serta faktor budaya.
Masyarakat di beberapa daerah di Indonesia masih memegang prinsip perempuan tidak berhak menentukan proses persalinannya. Hal ini membuat banyak kasus perempuan melahirkan dalam kondisi darurat dan sulit ditolong.
Keluarga melarang ibu hamil dirujuk ke fasilitas medis yang masih memadai. Perempuan untuk melahirkan di rumah sakit saja harus menurut keputusan suami dan keluarga. Konstruksi sosial yang dibangun dalam budaya patriarki dalam melihat perbedaan gender melahirkan berbagai ketidakadilan bagi perempuan. Budaya patriarki menempatkan kedudukan perempuan lebih rendah dalam tatanan keluarga serta komunitas.
Tidak Memiliki Hak atas Tubuh Sendiri
Masyarakat yang menganut sistem patriarki meletakkan laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang dominan dibandingkan perempuan sehingga perempuan tidak memiliki pilihan atas tubuh dan hidupnya. Termasuk dalam hal memutuskan kapan perempuan ingin hamil, bagaimana ia merawat kehamilannya, bagaimana ia bersalin, dan sebagainya. Seolah perempuan mahluk tidak berdaya yang tidak memiliki otonomi penuh atas tubuhnya sendiri.
Pada komunitas dengan budaya tertentu, anak laki-laki sering kali dianggap memiliki nilai lebih tinggi dibanding anak perempuan. Nilai-nilai ini diajarkan secara turun menurun dan terbentuk dari hasil sosialisasi baik dalam lingkungan keluarga, di sekolah maupun interaksi dengan masyarakat. Hal ini turut mempengaruhi pola asuh dan pemenuhan kebutuhan anak seperti hak atas kesehatan dan pendidikannya.
Perempuan sering kali dinilai dari fungsi reproduksinya sebagai contoh nilai perempuan yang ideal adalah perempuan yang bisa melahirkan dan menyusui. Padahal proses kehamilan harus terjadi karena adanya laki-laki dan perempuan. Masih banyak perempuan di negeri ini yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan akan kesehatannya.
Ketidaksetaraan gender turut mempengaruhi pola pikir kalangan profesi kesehatan. Praktisi kesehatan umumnya melihat persoalan kesehatan perempuan semata-mata menyangkut masalah klinis semata tanpa berupaya menggali isu non-klinis yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan perempuan.
Mereka juga tidak melihat adanya kebutuhan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kalaupun berbeda hanya saat perempuan hamil dan melahirkan. Karena itu pendidikan bagi calon profesi kesehatan yang sedianya memberikan layanan kesehatan perempuan hendaknya tidak hanya menggunakan “kaca mata” medis klinis.
Discussion about this post