“Jika perpanjangan dilakukan berarti ada kepentingan pemeriksaan, dan pemeriksaan dianggap sudah tidak ada dan sudah selesai karna sudah P-21, jadi tidak logis. Dan berkas harusnya diserahkan ke Pengadilan, tapi setelah dikroscek sampe detik ini belum ada pelimpahan ke Pengadilan. Dan pelimpahan itu biasanya dalam prakteknya, seminggu sebelum berakhir perintah penahanan. Paling lambat tiga hari sebelum berakhirnya perintah penahanan,” sebut Dirk Willem.
“Yang kita lihat ini cacat hukum, dan klien kami harus bebas demi hukum. Dan itu telah diatur dalam KUHAP, UU Nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana,” tuturnya.
Mantan Jaksa ini menambahkan, jika P-21 telah terbit, maka harusnya JPU menyiapkan surat dakwaan untuk disidangkan di Pengadilan. Dan tak perlu lagi ada perpanjangan penahanan.
Masih kata dia, P-21 memberikan kewajiban kepada penyidik untuk mengirimkan tersangka dan barang bukti ke JPU lalu diserahkan ke Pengadilan untuk dibuat surat dakwaan. P-21 itu namanya sudah tahap dua, yaitu kewajiban dari pada penyidik untuk menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti ke JPU, jika ada.
“Faktanya secara fisik si LR tidak ada di Pengadilan dan tanpa dilindungi perintah penahanan. Nah itulah namanya perampasan kemerdekaan seseorang,” pungkas Dirk Willem.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri Muna, Agustinus Baka Tangdililing melalui Kepala Seksi Intelijen, Arif Andiono menegaskan jika penahanan dianggap tidak sah oleh pihak Pendamping Hukum LR, pihaknya mempersilahkan gunakan instrumen hukum.
“Apabila penahanan dianggap tidak sah, gunakan instrumen hukum pra Peradilan tentang sah tidaknya penahanan” ujar Arif via WhatsApp, Kamis 1 Juli 2021.
Sekedar diketahui, LR ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan kasus persetubuhan dan perbuatan cabul terhadap anak yang terjadi di Desa Laiba, Kecamatan Parigi, Kabupaten Muna, pada Jumat 27 November 2020 lalu sekitar pukul 01.30 Wita.
Penulis: Sudirman Behima
Editor: Basisa
Jangan lewatkan video populer:
Discussion about this post