“Sosialisasi harus terus menerus dilakukan sampai tidak ada lagi warga yang mengonsumsi daging ternak mati atau sakit yang mengandung bakteri antraks,” ujarnya dalam keterangannya, Rabu 24 Juli 2024.
Selama ini, Polda DIY berkoordinasi dengan instansi terkait/Organisasi Perangkat Daerah (OPD) maupun para peternak mengawasi lalu lintas keluar masuknya hewan ternak di DIY khususnya di Gunungkidul. Terutama di Kapanewon Ponjong sebagai pintu masuk yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Eromoko, Wonogiri, Jawa Tengah (Jateng).
“Tujuannya untuk memantau kesehatan bibit hewan ternak yang masuk DIY,” ucapnya.
Sementara itu, Retno menjelaskan, sosialisasi Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) pada ternak penting untuk disampaikan kepada peternak. Di awal, dari UPT. Puskeswan Karangmojo juga telah melakukan vaksinasi yaitu Vaksin Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), vitamin B-Plex, anti nyeri dan demam dan obat cacing di kandang milik kelompok peternak sapi di Jaten Ponjong. Sedangkan untuk Vaksin Antraks diberikan setiap enam bulan sekali.
“Hanya di daerah yang menjadi zona merah antraks,” kata dia.
Sidig turut pula menyampaikan bahwa tradisi brandu/purak merupakan kebiasaan masyarakat Gunungkidul yang menyembelih daging hewan ternak yang sudah mati atau kelihatan sakit, kemudian membagi-bagikannya ke tetangga untuk dikonsumsi, supaya tidak sia-sia dagingnya.
Tradisi brandu/purak merupakan bentuk simpati masyarakat terhadap tetangga yang ternaknya mati. Sudah menjadi budaya, tabungan petani di desa adalah hewan ternak sehingga kematian ternak dianggap musibah. Jadi brandu/purak merupakan solidaritas membantu meringankan beban pemilik ternak yang terkena musibah.
Discussion about this post