<strong>Oleh: Dr. H. Mustakim, M.Si</strong> <em>"Dari kasus guru cabuli murid di Gorontalo hingga revolusi seksual ala Amerika Serikat"</em> Baru-baru ini viral video kasus pencabulan seorang guru kepada salah satu muridnya di salah satu Madrasah Aliyah di Gorontalo. Kasus ini sangat mencoreng banyak institusi mengingat kedua sosok pelaku, guru dan sang murid, adalah figur bagi komunitasnya dan keberadaan mereka berdua ada di dalam institusi yang agamis, yakni Madrasah Aliyah Negeri (MAN) yang notabene merupakan lembaga pendidikan setingkat SMA yang bernaung di bawah Kementerian Agama (kemenag) RI. Ini tentu mencoreng nama baik Madrasah Aliyah itu sendiri sekaligus nama baik Kemenag RI. Karena pekerjaan pelaku (berinisial DH) sebagai seorang guru, dengan sendirinya juga mencemari sosok guru yang seharusnya digugu dan ditiru (dipercaya, dipatuhi dan diteladani). Ditambah lagi, biasanya (ini biasanya) guru madrasah sedikit berbeda dengan guru sekolah umum. Guru madrasah seringkali dalam kesehariannya di tengah masyarakat juga dijuluki bahkan memang bertindak dan merangkap sebagai ustaz. Kata “ustaz” sendiri sebenarnya memiliki arti “guru”. Namun kesan orang kebanyakan, guru biasanya berbeda dengan ustaz. Ketika seseorang mendengar kata ustaz, akan terbersit dibenak orang tersebut sesosok ahli agama yang ‘alim', yang berakhlak, yang memiliki moral dan etika lebih dari sekedar orang biasa, termasuk lebih dan berbeda dari “guru biasa atau guru umum”. Sekolah dengan nama madrasah pun punya kesan berbeda dengan sekolah umum mengingat di madrasah disamping belajar ilmu-ilmu umum (sejenis biologi, fisika, ilmu sosial, dll) juga diajarkan mata pelajaran agama yang sangat kompleks (ada ilmu tauhid, Alquran-Hadits, fikih, Bahasa Arab, dll), dan lulusan madrasah seringkali dituntut memahami ilmu umum sekaligus ilmu-ilmu agama. Karena si DH sebagai guru madrasah yang biasa dipanggil ustaz, maka kelakuan si DH-pun mencoreng nama baik ustaz. Memang, bukan hanya DH satu-satunya pelaku asusila terhadap muridnya. Sebelum kasus DH ini mencuat, juga sudah ada kasus-kasus sejenis pada sekolah dan madrasah lain, bahkan ada juga ustaz di dalam pesantren yang mencabuli santrinya sendiri. Selain itu, sadar atau pun tidak, karena DH dan muridnya melakukan tindakan asusila di Gorontalo, dengan sendirinya nama Provinsi Gorontalo yang dikenal agamis juga ikut tercoreng. Jadi, sangat banyak sekali yang dicoreng wajahnya oleh ulah DH yang mencabuli muridnya ini. Pun halnya dengan si korban, beberapa media menyebutkan disamping ia merupakan siswi madrasah, ia juga ternyata ketua OSIS, dan pernah ikut kompetisi sebagai calon duta Generasi Berencana (genre) yang diadakan BKKBN Provinsi Gorontalo. Si korban juga turut menjatuhkan nama baik madrasah tempatnya sekolah, mencoreng nama Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), dan hampir saja mencoreng nama salah satu program BKKBN yang cukup bergengsi di kalangan remaja yakni program genre seandainya si korban terpilih sebagai duta genre. Perlu diketahui, program genre yang diusung oleh BKKBN pada intinya memiliki program utama yang tercermin dalam salam genre dengan lambang 3 jarinya. Di mana jari kelingking, jari manis dan jari tengah posisinya berdiri, sedangkan jari telunjuk dan ibu jari ujungnya bersentuhan yang membentuk angka nol. Dengan posisi jari seperti itu mengandung makna bahwa anak-anak genre harus “zero tiga hal” atau harus benar-benar menghindari 3 hal yang bakal membuat masa depan mereka kandas jika melakukan salah satu atau dua hal, lebih-lebih jika melakukan ketiganya. Ketiga hal yang harus dihindari tersebut adalah melakukan hubungan seks pranikah atau seks bebas, menghindari pernikahan dini dan menjauhi napza (Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya) atau narkoba. Bayangkan jika si korban terpilih menjadi duta genre, lantas “mau” melakukan hubungan intim tidak senonoh dengan gurunya sendiri, maka apa kata dunia? <strong>Kenakalan Orang Tua dan Revolusi Seksual Ala Amerika Serikat</strong> Kelakukan DH pada kasus di atas, jika boleh saya menyebut, sebagai salah satu wujud “kenakalan orang tua”. Dulu, ada istilah “kenakalan remaja” yang begitu populer. Mendengar “kenakalan remaja” biasanya para orang tua jengkel, benci, bahkan ada yang marah dan emosi. Entah, bagaimana perasaan para remaja sekarang jika mendengar adanya “kenakalan orang tua”? Mungkin juga mereka punya sikap yang sama yakni jengkel dan sejenisnya. Penulis pernah mendengar curhatan salah seorang mantan ajudan pejabat yang pernah beberapa kali ganti pimpinan. Curhatannya sangat memiriskan, katanya “hampir” semua bos yang dikawalnya punya sisi “nakal” dalam kehidupan seks. Maksudnya melakukan hubungan seks bukan dengan pasangan hidupnya (suami/istri), ada yang melakukan kenakalan dalam bentuk “jajan” dengan penjaja/Pekerja Seks Komersial (PSK), ada juga yang berani selingkuh dengan temannya yang notabene merupakan suami/istri orang lain. Mendengar curhatan tersebut, penulis menjadi teringat dengan tragedi “revolusi seksual” yang pernah terjadi di Amerika Serikat antara tahun 1960-1980-an. Revolusi seksual atau pembebasan seksual adalah sebuah gerakan sosial yang menentang nilai-nilai tradisional terkait seksualitas dan hubungan interpersonal. Pasca revolusi seksual tersebut, kehidupan bangsa Amerika dikenal menjadi sangat liberal (bebas). Namun liberalism, khususnya kebebasan seksual, di Amerika itu tidak membuat bahagia warga Amerika terutama kaum perempuan (para istri) yang ada di sana. Hal ini terungkap dari hasil penelitian ilmuwan perempuan Perancis yang meneliti mana lebih bahagia istri-istri di Amerika dengan cara hidup diri dan suaminya yang liberal atau para istri di Timur Tengah (khususnya Arab Saudi) yang dipoligami oleh para suaminya? Hasil penelitian sekitar tahun 1990-an itu menyebutkan ternyata istri-istri orang Arab yang dipoligami pada umumnya merasa bahagia. Jika dikaitkan dengan kebebasan seksual ala Amerika dengan model poligami di Timur Tengah atau Arab Saudi, posisi Indonesia yang mayoritas Islam seharusnya lebih condong mengikuti pola Arab Saudi. Persoalannya, perempuan Indonesia berbeda dengan perempuan Saudi Arabia. Jika perempuan di Arab Saudi memandang suaminya sendiri berpoligami adalah sebagai “peluang besar” bisa mendapatkan surga di akhirat (karena menerimanya dengan iman), maka perempuan Indonesia memandang sebagai “ancaman besar masuk neraka dunia” jika suaminya berpoligami. Sebenarnya, untuk para lelaki/suami sejenis DH atau para pejabat nakal yang suka diam-diam “jajan” di luar rumah atau selingkuh (seperti yang diceritakan mantan ajudan di atas), berpoligami adalah cara lain yang lebih terhormat karena lebih halal dalam pandangan agama/Tuhan. Tentu saja, jika punya istri lebih dari satu, ada tuntutan lain yakni harus bisa berlaku adil terhadap para istrinya. Selain itu, hal tersebut juga berpulang kepada para istri pertama (“istri tua”) mereka, apakah para istri pertama akan mengizinkan suaminya berpoligami? Hanya para istri pertamalah yang bisa menjawabnya. Tapi yang lebih aman, dan paling aman, adalah bersyukur dengan satu istri yang selama ini menemani kita dalam suka dan duka, seperti halnya firman Allah SWT dalam Alquran surat an-Nisa ayat 3, “….jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja…”. Ya, satu tapi bisa menjadi segalanya buat kita. Selain itu, usaha untuk meredam syahwat agar tidak terjerumus dalam perzinahan, bisa dengan berpuasa sunnah secara rutin, berolahraga, berkarya, atau melakukan kegiatan-kegiatan positif lainnya yang dapat mengalihkan pikiran/hasrat/hayalan kita dari syahwat yang bisa menjerumuskan pada kehancuran<strong>.(***)</strong> <strong>Penulis adalah Doktor Adm. Publik UHO, Alumni UIN Bandung, kini Penata Kependudukan dan KB Ahli Madya Sulawesi Tenggara</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://www.youtube.com/watch?v=biUEggbiOaE&t=95s
Discussion about this post