PENASULTRA.ID, JAKARTA – Kondisi sosial ekonomi kelautan dan perikanan Indonesia saat ini dalam keadaan tidak baik. Banyak masalah yang tak kunjung usai. Muncul lagi masalah baru yang berpotensi melibatkan negara-negara di dunia.
Di Indonesia, kebijakan seputar kelautan dan perikanan sangat naif yang diakibatkan oleh regulasi-regulasi tidak pro pada masyarakat pesisir. Alih-alih meningkatkan ekonomi, malah menyulitkan putaran ekonomi perikanan.
Hal tersebut dikemukakan Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI), Rusdianto Samawa dalam keterangan persnya, Minggu 21 November 2021.
Potensi resesi kelautan dan perikanan, kata dia sangat mungkin terjadi.
“Kalau kita evaluasi dalam dua tahun terakhir ini, sosial ekonomi perikanan mengalami kondisi stagnan sehingga berdampak pada memburuk pendapatan masyarakat. Potensi resesi sangat mungkin terjadi,” kata Rusdianto.
Menurut dia, data Badan Pusat Statistik tahun 2020 triwulan II pertumbuhan hanya pada angka 0,36 persen dan triwulan III terkontraksi 1,03 persen. Hanya bertaut beberapa persen saja. Tentu, kondisinya sangat memburuk dan prihatin. Meskipun pertumbuhan ekonomi triwulan II-2021 capai 7,07%.
“Namun, belum ada tanda-tanda aktivitas ekonomi perikanan menggeliat. Salah satu faktornya adalah terbitnya berbagai regulasi yang menyulitkan masyarakat pesisir, nelayan, pembudidaya dan petani garam. Terutama pada regulasi PNBP PP 85 tahun 2021,” ujar Rusdianto.
Mestinya sadari lebih awal, bahwa selama pandemi, sektor kelautan perikanan sudah nampak berat dan serba sulit. Walaupun pemerintah hadirkan investasi shrimp estate dibeberapa wilayah Indonesia. Tetapi, belum bisa memulihkan kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir.
“Malahan memunculkan banyak masalah, seperti pelanggaran terhadap reforma agraria yang membuat masyarakat pesisir kehilangan tanah. Apalagi sudah mulai terjadi deforestasi lahan-lahan pesisir laut yang menyebabkan hilangnya hutan mangrove,” urai Rusdianto.
Ia mengakui, pemerintah berupaya menggenjot investasi dan ekspor. Supaya ekonomi kelautan membaik dan kesejahteraan nelayan meningkat. Namun, kebijakan yang diambil kerapkali menimbulkan polemik dan konflik antar masyarakat pesisir. Misalnya regulasi PNBP naik 400% maupun tumpang tindihnya regulasi penataan ruang laut pesisir.
Terbitnya beraneka ragam regulasi dalam bentuk PP, Kepmen, Permen, Insmen, dan peraturan teknis lainnya sebagai turunan UU Cipta Kerja No 11/2021 membuat banyak pihak kesulitan dalam berusaha dan beraktivitas. Cilakanya ada pula aturan bertentangan dengan UU sektoralnya, seperti peraturan PNBP dan penataan ruang laut pesisir.
“Menurunnya daya serap pasar terhadap produk hasil perikanan, lemahnya etos tenaga kerja sangat rendah, manajemen koperasi perikanan alami pelemahan, dan minimnya hasil ekspor perikanan. Perhatian pemerintah masih minim, tidak bisa tangkap peluang pemulihan ekonomi pada subsektor kelautan dan perikanan,” kata Rusdianto.
Ia menyebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak memiliki kepekaan untuk ciptakan lapangan pekerjaan di tengah situasi seperti sekarang. Walaupun banyak program strategis seperti shrimp estate. Tetapi belum bisa dimanfaatkan untuk saat ini sebagai andalan strategi pemulihan ekonomi sosial perikanan. Karena investasi shrimp estate bisa berjalan pasca 2025 nanti.
View this post on Instagram
KKP anggap food estate (FE) dan shrimp estate (SE) program pemulihan. Namun, program tersebut, tak bisa intervensi problem sosial ekonomi kelautan dan perikanan dari hulu ke hilir. Program yang dicanangkan itu, kata Rusdianto, sangat parsial dan tidak memiliki kejelasan investasi, sehingga tidak akan memberi manfaat kesejahteraan bagi masyarakat pesisir.
Pemerintah perlu evaluasi seluruh program dan regulasi yang sudah diterbitkan sehingga bisa menjadi signifikan bagi upaya pemulihan sektor perikanan. Perlu juga menyadari kondisi selama dua tahun pandemi covid, aktivitas masyarakat pesisir pun nyaris lumpuh, meski pemerintah telah menggelontorkan ragam bantuan sosial dan afirmasi kebijakan program. Kenyataannya belum pulih. Bahkan melemah.
Kinerja kelautan dan perikanan mengalami pasang surut. Cenderung melemah dan mengalami stagnasi. Rusdianto lantas menguraikan analisis dari sejumlah lembaga yang mengeluarkan hasil risetnya menandakan sektor kelautan dan perikanan melemah.
Badan Pusat Statistik (BPS, 2021) merilis pertumbuhan ekonomi sektor perikanan triwulan II-2021 mencapai 9,06%. Angkanya lebih tinggi ketimbang triwulan yang sama 2021 sebesar 6,41%. Produk domestik bruto (PDB) perikanan berdasarkan harga konstan 2010 triwulan I-2021 sebesar Rp63.649,9 miliar, turun dibandingkan periode sama 2020 sebesar Rp64.494,5 miliar.
Discussion about this post