Diketahui gugur dalam perang ini dari pihak Buton adalah Panglima Perang La Sangkuabuso, Bonto Ogena, Sapati, Lakina Labalawa, Lakina Todanga, sedangkan dari pihak Belanda 1 orang tewas, 39 orang hilang dan 36 orang luka-luka.
Berdasarkan memori Kapten de Jong pasukan Belanda ada 9 orang yang tewas, namun dalam ingatan kolektif masyarakat Keraton salah satunya La Mbia Maa Hadia berjumlah 10 orang dan beberapa di antaranya ditikam oleh Himayatuddin.
Untuk menghindari semakin bertambahnya pasukan yang gugur maka Himayatuddin memutuskan menarik pasukannya masuk hutan (Wasinabui) bergerilya ditemani pimpinan pasukan pengawalnya bernama La Bumbura. Saat penarikan pasukan ini Belanda menawan dan membawa pergi putri kesayangan beliau Wa Ode Wakato serta cucunya Wa Ode Kamali.
Dalam memorial kolektif masyarakat Buton kedua putri tersebut dikenang dengan sebutan “Yilingkaakana Walada” artinya yang dibawa pergi Belanda.
Melanjutkan perjuangannya melawan Belanda, Himayatuddin Muhammad Saidi memilih strategi perang gerilya yang bermarkas di Puncak Gunung Siontapina (sekarang wilayah kecamatan Siontapina Kabupaten Buton) dengan melewati jalur Timur yaitu Liana Toke (Gua Tokek), Wasinabui, Wakaesua, Lambusango, Todanga, Waondo Wolio, Wasuamba, dan menuju puncak Gunung Siontapina.
Disinilah Himayatuddin mengatur siasat perang gerilya dengan membentuk dua pasukan pengintai yang bertugas di siang hari dan di malam hari. Keberadaannya memimpin pasukan di hutan sehingga disebut Oputa Yi Koo (Sultan yang berada di hutan).
Sampai pada tahun 1760 Himayatuddin dicalonkan kembali oleh Kamboru-Mboru Tanaylandu (kamboru-mboru dimaknai sebuah tempat berteduh) pada bursa pemilihan Sultan Buton ke-23 dan terpilih kembali kedua kalinya dengan masa pemerintahan selama 3 tahun (1760–1763).
3. Akhir Kisah
Semasa menjabat kedua kalinya tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda bahkan sampai digantikan oleh La Jampi tahun 1763 masih memimpin pasukan melawan imperialisme Belanda dengan menggunakan taktik perang gerilya.
Dimasa tuanya tetap memilih tinggal di Puncak Gunung Siontapina sampai menghadap panggilan Allah SWT pada tahun 1770. Sampai akhir hidupnya melawan Imperialisme Belanda La Karambau – Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi – Oputa Yi Koo (Sultan Buton ke-20 dan 23) tidak pernah ditawan apalagi menyerahkan diri dan tunduk kepada Belanda.
Nilai-nilai Perjuangan Oputa Yi Koo
Kedudukan peserta didik adalah sebagai pewaris regulasi kehidupan hari ini dan yang akan datang. Kehidupan hari ini merupakan rentetan dari proses kehidupan sebelumnya. Waktu yang terus berjalan itu mengisahkan berbagai kisah dan fenomena kehidupan.
Pelajaran Sejarah salah satunya menyajikan bacaan kehidupan dengan segala macam peristiwa. Berkenaan dengan pemikiran nilai-nilai kesejarahan dan kepahlawanan menjadi penting untuk membangkitkannya dalam perspektif berpikir think global act local (berpikir global bertindak lokal).
Hal ini menjadi penting untuk merespon isu globalisasi yang masuk ke hampir seluruh sendi kehidupan politik, ekonomi, sosial, agama dan budaya. Revolusi dalam teknologi komunikasi mengubah cara berpikir dan berperilaku manusia.
Peserta didik harus mampu dibelajarkan oleh guru dalam memulai, mengubah pemikiran, dan perilaku mereka agar apa yang disebut arus globalisasi tidak menenggelamkan identitas dan eksistensi mereka.
Hadirnya fenomena Oputa Yi Koo yang berstatus sebagai Pahlawan Nasional (2019) tidak dapat dipungkiri bahwa beliau salah satu tokoh fenomenal, berpengaruh dan disegani di jazirah belahan Timur Nusantara dimasanya.
Kiprah beliau memberikan kesadaran baru bahwa Kesultanan Buton memiliki andil yang sangat berarti terhadap tumbuhnya embrio nasionalisme menuju fase terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana halnya Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Kapitan Pattimura, Imam Bonjol dan lain sebagainya.
Rekam jejak Oputa Yi Koo (Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi) tentunya harus mampu menjadi spirit para siswa khususnya dan pemuda Indonesia pada umumnya. Nilai-nilai perjuangan beliau dalam melawan imperialisme Belanda dapat dijadikan motivasi terhadap generasi antara lain:
1. Nilai Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia
Secara politik menjadikan Kesultanan Buton sebagai negara yang disegani di antara negara-negara lainnya di Kawasan Timur Nusantara. Perjanjian yang ditentang dan diabaikannya adalah seluruh isi perjanjian tanggal 5 Januari 1613, salah satunya memuat klausul membebaskan pedagang Belanda untuk membayar pajak Pelabuhan (kapal Rust en Werk) dan perdagangan lainnya di wilayah Kesultanan Buton. Termasuk pula, klausul izin pembelian dan perdagangan budak.
Sultan Himayatuddin menentang serta mengabaikan pula perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 25 Juni 1667 pada ketentuan pasal 4 s.d. 7 antara Sultan Buton ke-10 (La Simbata) dengan Laksamana Spelman, disaksikan oleh Sultan Mandarsyah (Ternate).
Perjanjian tersebut berisi larangan bagi Buton untuk melakukan perjanjian kerjasama dengan negara-negara lain tanpa persetujuan Belanda dan Ternate dan di dalam hal Belanda bermusuhan dengan salah satu negara, maka Buton juga harus menyatakannya sebagai musuh. Bila dilanggar, maka Sultan akan dipecat dan penggantinya ditentukan oleh Belanda dan Ternate.
Dalam hukum Kesultanan Buton sangat menghormati nilai-nilai hukum kemanusiaan yang memiliki derajat yang sama sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton “Murtabat Tujuah” pada kandungan sila Sara Pataanguna yaitu pomae-maeka (saling takut), pomaa-maasiaka (saling menyayangi), poangka-angkataka (saling menghormati), dan popia-piara (saling memelihara).
Hal ini juga sejalan dengan nilai operasional yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 bahwa kita adalah bangsa yang anti penjajah dan penjajahan. Sikap Himayatuddin tegas bahwa yang dilakukannya semata-mata untuk menyelamatkan dan menegakkan kedaulatan Kesultanan Buton.
2. Nilai Ekonomi
Secara ekonomi Kesultanan Buton berada pada posisi dirugikan oleh adanya perjanjian Sultan Buton ke-10 La Simbata dengan Laksamana Speelman (25 Juni 1667) “hongitochten” yang mewajibkan penghancuran tanaman cengkeh dan pala di seluruh wilayah kesultanan Buton.
Buton berada dalam posisi tidak diuntungkan, disatu sisi membangun kemandirian dan mengurangi ketergantungan dengan sistem perdagangan Belanda (VOC).
3. Nasionalisme
Sebagai sebuah negara, Buton dianugerahi keragaman. Oleh karena itu, istilah “Poromu Yinda Saangu, Pogaa Yinda Koolota” (Berpadu Tidak Menyatu, Berpisah Tidak Berantara) sebagai salah satu simbol pemaknaan dalam keberagaman (bahasa, budaya, adat istiadat, suku, dan pulau) kehidupan berbangsa dan bernegara di Kesultanan Buton.
Rasa cinta tanah air ini memberi inspirasi yang begitu tajam betapa pentingnya persatuan dalam keberagaman. Perlawanan Oputa Yi Koo beserta rakyat adalah wujud nyata kecintaan terhadap tanah airnya.
4. Menegakkan Syariat Islam
Buton adalah negara Kesultanan yang menjadikan Islam sebagai agama resmi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Izin mengawini perempuan Buton dan memasukkannya menjadi Kristen oleh orang-orang Belanda adalah merupakan pelecehan dan penghinaan terhadap sumpah dan tanggung jawab Sultan. Oputa Yi Koo sangat menentang perkawinan campuran atau beda agama.
5. Patriotisme
Karakter atau sifat rela dan berani berkorban atas segala yang dimiliki termasuk nyawa sekalipun demi untuk membebaskan rakyat dari kesewenang-wenangan Belanda yang menyengsarakan. Sultan Himayatuddin telah mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, hingga harta dan nyawa.
Ini bukan berarti kita semua harus gugur seperti para pahlawan tetapi kerelaan memberikan hal-hal yang berharga untuk kepentingan yang lebih besar kepada bangsa patut diteladani bagi kita semua.
Nilai-nilai perjuangan Oputa Yi Koo dianggap penting untuk ditanamkan kepada peserta didik agar memiliki sifat dan perilaku yang religius, mandiri, berdaulat, berintegritas, patriotik, peduli, nasionalis dan taat hukum.(***)
Penulis adalah Widyaprada Ahli Madya BPMP Sultra
Jangan lewatkan video populer:

Discussion about this post