Daerah yang dinyatakan sebagai KLA, justru terkadang masih belum mampu memenuhi dan melindungi hak-hak anak.
Sebagaimana, Ketua Lembaga Keperempuanan PMII Komisariat Majapahit, Mojokerto, Ana Yuskristiyanigsih, mengkritik penghargaan KLA kategori Madya yang diterima Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mojokerto.
Menurutnya, penghargaan tersebut kurang tepat karena data dari BPS, angka anak terlantar di Kabupaten Mojokerto pada 2020 sebanyak 3.942 anak, baik laki-laki maupun perempuan.
Menurut Ana, penghargaan KLA seharusnya dibarengi dengan program dari Pemkab Mojokerto yang mampu menyejahterakan anak, tidak hanya memenuhi syarat dokumen agar mendapatkan penghargaan tersebut (Faktualnews, 09/08/2021).
Hal ini mengindikasi bahwa upaya pemerintah daerah untuk mendapatkan penghargaan KLA berjalan terpisah dengan upaya melindungi dan menjamin hak anak. Pemerintah daerah hanya terfokus kepada urusan administrative, yakni bagaimana memperoleh penghargaan tersebut, namun minim kebijakan untuk melindungi hak-hak anak.
Seyogianya kita patut menyadari jika gagasan KLA hanya sebuah fatamorgana dalam penyelesaian problem anak, sebab gagasan KLA hanya bersifat teknis, bagaimana mencapai beberapa kriteria yang ditentukan oleh pusat agar daerah-daerah mampu menjadi kota yang ramah terhadap anak, namun para penguasa seolah lupa akan kehidupan disekitar anak itu sendiri, dimana kehidupan dalam sistem kapitalisme yang syarat akan liberalisme, gaya hidup hedonis, kesenjangan sosial, dan lainnya merupakan faktor utama problem anak tersebut.
Hal ini juga sangat berpengaruh besar dalam pertumbuhan mereka dan menghindarkan mereka dari tindak kejahatan, serta menjamin hak-hak mereka.
Bagaimana mungkin anak bisa tumbuh dengan sehat dan terjamin hak-haknya, jika kebebasan dalam bergaul, kesenjangan sosial, beban hidup yang kian mencekik, serta gaya hidup hedonis masih mengiringi kehidupan mereka. Sebut saja, kesenjangan sosial yang kini kian nampak sering kali pemicu terjadinya bullying, dimana ada perbedaan yang jauh antara si kaya dan si miskin.
Selain itu, faktor ekonomi, dimana sulitnya mencari biaya hidup tak ayal kerap kali membuat anak menjadi korban kekerasan. Tak sampai disitu, adanya kebebasan dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan sering kali juga menjadi pemicu terjadinya tindak kejahatan terhadap anak.
Kemudian, adanya liberalisme dari berbagai sektor, semisal sektor media yang mengakibatkan mudahnya situs-situs penggugah hawa nafsu berseliweran dengan mudah, acap kali menjadikan anak sebagai korban pelampiasan dan masih banyak lagi faktor-faktor perlindungan hak anak yang tidak tersentuh oleh gagasan KLA.
Discussion about this post