<strong>Oleh: Rayani umma Aqila</strong> Pembangunan infrastruktur terus dilakukan dan banyak pembangunan yang harus jujur diakui meninggalkan banyak masalah bagi warga yang terdampak. Terbaru adalah penolakan warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang menolak wilayahnya dijadikan pertambangan terbuka batuan andesit untuk pembangunan Waduk Bener di Kabupaten Purworejo, yang begitu masif dilakukan di segala lini yang bertujuan membuat waduk sebagai sarana untuk membantu para petani mengolah lahan pertanian milik mereka. Pembangunan ini tentu mendapat aksi penolakan, bahkan aksi serupa juga marak di beberapa titik wilayah di Jawa Tengah. Bahkan, hingga ada yang memblokade Jalan Pantura demi mendapat perhatian pemerintah terhadap penolakan warga Wadas atas penambangan di wilayahnya. Sebagaimana pemberitaan media, pada Selasa (8/2/2022), ratusan aparat bersenjata lengkap mendatangi Desa Wadas, menangkap dan menggelandang sejumlah warga. Kuasa hukum warga Desa Wadas, Julian Dwi Prasetya, mengatakan ada sekitar 60 warga yang aparat tangkap. Warga yang melawan digelandang aparat, bahkan dikejar anjing pelacak hingga masuk hutan. Konflik bermula dari rencana pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo yang merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN). Bendungan ini akan memasok sebagian besar kebutuhan air Bandara Yogyakarta International Airport (YIA) di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Bandara YIA merupakan salah satu program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pertumbuhan Ekonomi (MP3EI), kemudian muncul dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015—2019. Untuk menunjang kawasan strategis Borobudur, butuh infrastruktur transportasi sehingga dibangunlah Bandara YIA di Kulon Progo. Pembangunan bandara ini memerlukan operasional dan dukungan dari sektor lain, termasuk kebutuhan air, maka Bendungan Bener pun turut dibangun. Namun gagasan awal proyek pariwisata ini tidak terealisasi. Sejak awal, YIA sepi. Kini justru YIA menjadi destinasi wisata dan ini diakui pihak Bandara sendiri. Warga jelas memiliki alasan kuat menolak, karena sebelumnya kawasan Wadas bukanlah untuk areal pertambangan mengingat di sana juga merupakan penyangga untuk kawasan menoreh. Mereka khawatir penambangan batuan tersebut akan menimbulkan persoalan serius seperti longsor. <blockquote class="twitter-tweet"> <p dir="ltr" lang="in">Pemkab Konsel Genjot Vaksinasi Anak Usia 6 hingga 11 Tahun <a href="https://t.co/GEKy35s6sF">https://t.co/GEKy35s6sF</a></p> — Penasultra.id (@penasultra_id) <a href="https://twitter.com/penasultra_id/status/1493966496145584131?ref_src=twsrc%5Etfw">February 16, 2022</a></blockquote> <script async src="https://platform.twitter.com/widgets.js" charset="utf-8"></script> Dikutip dari laman Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas, bendungan ini direncanakan bakal mengairi sekitar 15.069 hektare persawahan. Bukan luas yang kecil mengingat negara ini juga membutuhkan ketahanan pangan. Warga menolak rencana penambangan batu andesit yang akan digunakan untuk pembangunan Bendungan Bener. Bendungan yang menjadi salah satu proyek strategis nasional itu berdasarkan Peraturan Presiden nomor 56 tahun 2018 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah nomor 590/41/2018, Desa Wadas adalah lokasi yang akan dibebaskan lahannya dan dijadikan lokasi pengambilan bahan material berupa batuan andesit untuk pembangunan Bendungan Bener. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengungkapkan potensi hasil perkebunan di Desa Wadas mencapai Rp8,5 miliar per tahun, bisa lebih dari itu jika ditambah komoditas kayu keras yang mencapai Rp5 Miliar per lima tahun, Media indonesia.com (10/2/2022). Dalam survei potensi ekonomi oleh Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa) bersama Walhi Yogyakarta, LBH Yogyakarta dan Perpustakaan Jalanan, semua tanaman yang dibudidayakan di bukit Wadas bernilai akumulasi tinggi per tahun: petani mencapai Rp241 juta, kayu sengon Rp2 miliar, kemukus Rp1,35 miliar, vanili Rp266 juta dan durian Rp1,24 miliar. Begitu banyak keuntungan di bukit Wadas itu sehingga warga menyebutnya “tanah surga di bumi Wadas”, belum lagi kekayaan fauna yang ada. Konflik di Wadas bukanlah satu-satunya konflik lahan antara rakyat dan pemerintah. Tampaknya, konflik akan makin sering terjadi saat negara makin terlilit beban ekonomi. Mereka menggandeng para investor dalam membangun infrastruktur, baik jalan, perhotelan, maupun kawasan wisata. Tidak jarang, pembangunan tersebut kadang mengesampingkan dengan kepentingan (lahan) masyarakat. Penguasa lebih memihak oligarki yang memberinya jalan untuk melanggengkan kekuasaan. Kepentingan rakyat tidak menjadi perhatian utama, bahkan cenderung terabaikan dan terlupakan. Sementara, kepentingan oligarki makin difasilitasi melalui berbagai regulasi. Sungguh, sikap represif terhadap rakyat adalah bukti wajah buruk demokrasi dalam genggaman oligarki. Keberpihakan pada rakyat sejatinya hanya ilusi. Negara sudah berubah menjadi korporatokrasi, yakni kewenangan negara didominasi pengusaha yang memikirkan keuntungan ekonomi untuk dirinya semata serta abai dengan nasib rakyat. Hal ini akan terus terjadi, untuk itu dibutuhkan sebuah aturan yang bisa menjamin ketentraman dan kenyamanan dalam bermasyarakat dan bernegara. Tentu hal ini bisa terwujud dalam sistem Islam, sebab keadilan hanya dalam sistem Islam. Dalam kehidupan bernegara, tentunya pernah ada konflik antara rakyat dan pemerintah. Dalam sistem Islam, ada sistem peradilan yang dipimpin Qâdhî Mazhâlim. Mahkamah Mazhalim merupakan lembaga negara untuk melenyapkan setiap bentuk kezaliman negara terhadap warga negara. Mahkamah Mazhalim berhak mengganti penguasa, pejabat, maupun pegawai negara yang melakukan tindak kezaliman. Selain karena kezaliman, Mahkamah Mazhalim tidak berhak sama sekali melakukan pemakzulan. Ini karena pemilik asal wewenang mengangkat dan menghentikan pejabat maupun pegawai negara adalah pemimpin negara dalam sistem Islam. Pemimpinlah yang berhak mengangkat dan menghentikan pejabat atau pegawai negara. Persengketaan antara Khalifah Ali ra dan rakyatnya seorang Yahudi menjadi bukti adilnya sistem Islam. Perseteruan itu terkait baju besi yang masing-masing mengakui sebagai miliknya. Khalifah Ali menyatakan bahwa baju besi yang orang Yahudi pegang adalah miliknya, tetapi beliau tidak mampu mendatangkan saksi. Akhirnya, hakim memutuskan baju besi tersebut menjadi milik si Yahudi. Mendengar putusan hakim tersebut, si Yahudi pun mengakui baju besi itu memang milik Khalifah Ali dan selanjutnya ia masuk Islam. Sungguh, hari ini kita merindukan keadilan tersebut hadir di tengah kita, pemimpin agung yang menjamin hak-hak umat, menyelesaikan persoalan dengan penuh kebijaksanaan, dan mengutamakan kepentingan rakyatnya. Juga pemimpin yang taat aturan Allah dan senantiasa menegakkan keagungan Islam. Itulah pemimpin yang hanya ada dalam kepemimpinan yang menjalankan aturan Islam. Wallahualam <strong>Penulis: Relawan Opini</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://youtu.be/zMULfO7AI44
Discussion about this post