<strong>Oleh: Rima Septiani, S.Pd</strong> Sangat ironis memang ketika tempat peradilan di tingkat tertinggi justru darurat korupsi. Perilaku korup para pejabat yang haus terhadap harta menjadikan mereka melakukan penyalahgunaan kewenangan (abus de droit) dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah tiga ruangan hakim agung pada Mahkamah Agung (MA) dalam penggeledahan Jumat (23/9/2022). Penggeledahan itu dilakukan terkait kasus dugaan suap pengurusan kasasi gugatan aktivitas Koperasi Simpan Pinjam Intidana yang menjerat Hakim Agung Sudrajad Dimyati sebagai tersangka. Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan, tiga ruangan hakim agung yang digeledah adalah ruangan Sudrajad Dimyati, Agung Takdir Rahmadi, dan ruangan staf dari Gazalba Saleh. (Kompas.com/26/9/22) <strong>Polemik Pemberantasan Kasus Korupsi</strong> Praktik penyalahgunaan wewenang instansi pemerintahan untuk kepentingan pribadi masih kerap terjadi di lingkup birokrasi. Sebut saja suap, kolusi dan korupsi masih menjadi kebiasaan di kalangan para petinggi negara untuk memuluskan segala kepentingannya. Wajar jika kita menyaksikan kondisi ekonomi Indonesia yang begitu runyam dan terus saja mengalami keabnormalan akibat tikus-tikus nakal yang hadir di lingkup pemerintahan. Mereka yang seharusnya diamanahkan untuk mengurusi dan mensejahterakan rakyat, justru menjadi para pengkhianat bangsa dan negara. Menjamurnya praktik korupsi di Indonesia tidak terlepas dari seberapa ketat aturan hukum yang diterapkan dalam memberantas tindakan haram tersebut. Merujuk UU No.30/2002, tindakan korupsi dikategorikan oleh KPK sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dengan ancaman hukum luar biasa. Dalam Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor, diterangkan bahwa koruptor mendapat hukuman dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun serta denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar, ketika diketahui terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Namun,UU tersebut belum juga menjadi solusi efektif terhadap kasus korupsi di kehidupan politik Indonesia. Yang jelas, ekonomi Indonesia masih terpuruk akibat praktik korupsi baik di tingkat nasional atau provinsi. Kelemahan lainnya yakni belum tuntasnya reformasi sistem penegakkan hukum di institusi penegak hukum yang ada di Indonesia. Dalam sejumlah kasus yang terjadi justru malah melibatkan aparatur penegak hukum itu sendiri. Mirisnya, meski penangkapan demi penangkapan terus dilakukan KPK dan sebagiannya sudah diganjar hukuman penjara, namun kasus korupsi masih saja menjamur di negeri ini. Sistem hukum yang lemah membuat praktik haram tersebut dianggap sebagai kewajaran. Sampai-sampai para pejabat yang kena jerat KPK pun, masih bisa melenggang seraya menebar senyum dan tawa kepada para awak media. Seakan-akan mereka percaya diri, bahwa semua hasil putusan hukumnya kelak, bisa diatur dengan uang dan jaringan kekuasaan. Karena pada faktanya, tidak sedikit para pelaku korupsi yang bebas dari jerat hukum. Atau jikapun dihukum, hukuman tersebut tak memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi. Tentu saja keresahan masyarakat belum terobati, jika tiap tahun kasus korupsi masih terus ditemukan oleh KPK, rakyat pasti menuntut pemerintah untuk menuntaskan masalah turun temurun negeri ini. Pemerintah diharapkan mengambil langkah tegas dan efektif dalam memerangi kasus korupsi yang menggurita. Pakar hukum pidana, Indriyanto Seno Adji menilai masifnya praktik korupsi di Indonesia memang tidak terlepas dari peran birokrat atau penyelenggara negara. Namun demikian, yang tidak kalah pentingnya juga tentunya adalah keterlibatan pihak swasta. Semua ini menunjukkan ada yang salah terhadap tatanan aturan yang dijalankan di negeri ini. Sistem yang berjalan di Indonesia masih banyak yang memberikan peluang terjadinya tindak pidana korupsi. Fenomena korupsi yang menjadi kebiasaan dikalangan pejabat bukan masalah moral individu yang rendah, integritas kerja yang jurang ataupun sistem struktural lembaga yang rendah yang minus pengawasan. Ada hal yang lebih fundamental dari hal itu, yakni sistem bathil sekuler demokrasi kapitalisme. Sistem ini membawa kerusakan dalam segala lini kehidupan. Inilah tabiat sistem demokrasi. Sistem yang menjadi akar penyebab kasus korupsi dan praktik-praktik kecurangan lainnya. Sesungguhnya sistem demokrasi adalah sistem pemerintahan yang tegak berdasarkan asas sekularisme yaitu paham yang memisahkan peran agama dalam mengatur tatanan kehidupan. Aturan agama, khususnya agama Islam sangat diharamkan untuk menjadi sebuah sistem aturan bagi masyarakat dan bernegara. Untuk itu harus dilakukan pembenahan terhadap sistem yang diterapkan di negeri ini, sistem sekuler yang jelas-jelas mengundang kerusakan, tak pantas untuk dipertahankan. Rakyat harusnya sadar, bahwa solusi pemberantasan korupsi hanya bisa diselesaikan dengan sistem yang paling tegas komitmennya dalam menangani masalah korupsi. <strong>Cara Islam Menuntaskan Kasus Korupsi</strong> Sistem Islam adalah sistem yang menjaga umat dari bentuk-bentuk kemaksiatan. Dengan basis akidah Islam, individu akan dibentuk pola pikir dan pola sikapnya sesuai dengan nilai-nilai islam. Dengan kesadaran seperti ini, umat akan berusaha menghindari segala bentuk perbuatan haram baik di jajaran penguasa, kelompok masyarakat, serta individu. Islam akan membentuk kehidupan yang bersih dan jauh dari segala bentuk kerusakan, tentunya dengan basis sistem penerapan hukum Islam secara kaffah. Penerapan syariat Islam secara totalitas sejatinya menjadi bukti keimanan kita kepada sang Khaliq, olehnya itu ketaatan kita kepada Allah SWT menuntut kita menjalankan kehidupan sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan berdasarkan hawa nafsu semata. Islam juga akan melahirkan sistem politik yang menjamin fungsi negara sebagai pengurus rakyat akan terlaksana. Selain itu, sistem hukum berbasis aqidah Islam, akan berusaha menjaga keadilan di tengah masyarakat. Pengadilan Islam tidak pandang bulu dalam menjatuhkan hukuman kepada siapa pun, meskipun itu kepada jajaran pemerintahan. Asalkan terbukti salah dan dikuatkan dengan saksi, maka sanksi tersebut akan dijatuhkan kepada para pelaku maksiat. Bukan hanya memberikan efek jera, namun sistem sanksi ini diyakini bisa menghapus dosa di hari akhir kelak. Dalam sejarah Islam, Rasulullah pernah menyita harta yang dikorupsi pegawainya. “Nabi pernah mempekerjakan Ibn Atabiyyah, sebagai pengumpul zakat. Setelah selesai melaksanakan tugasnya Ibn Atabiyyah datang kepada Rasulullah seraya berkata, ‘Ini kuserahkan kepadamu, sedangkan harta ini adalah yang diberikan orang kepadaku…’ lalu Rasulullah bersabda, Seorang pegawai yang kami pekerjakan, kemudian dia datang dan berkata, ‘Ini kuserahkan kepadamu, sedangkan harta ini adalah yang diberikan orang kepadaku. Apakah tidak lebih baik dia duduk (saja) di rumah bapak/ibunya, kemudian dapat mengetahui apakah dia diberi hadiah atau tidak. Demi Zat yang nyawaku ada di tangan-Nya, salah seorang dari kalian tidak akan mendapatkan sedikitpun dari hadiah itu, kecuali pada hari kiamat dia akan datang dengan membawa unta di lehernya…'” (HR Bukhari-Muslim, Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah, hlm. 119). Syekh Abdurrahman Al Maliki dalam kitabnya "Nizhamul Uqubat" menjelaskan kasus korupsi dalam Islam disebut perbuatan khianat. Dan tidak termasuk definisi mencuri (sariqah). Karena perbuatan tersebut termasuk penggelapan uang yang diamanatkan dan dipercayakan kepada seseorang. "Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan (termasuk korupsi), orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret. (HR Abu Dawud). Menurut KH. Hafidz Abdurahman, korupsi ini tidak termasuk mencuri dalam pengertian syariat, maka kejahatan ini tidak termasuk dalam kategori hudud. Tetapi, masuk dalam wilayah ta’zir, yaitu kejahatan yang sanksinya diserahkan kepada ijtihad hakim. Sanksinya bisa berbentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati. Inilah konsep Islam dalam memberantas segala bentuk kemaksiatan, termasuk kasus korupsi. Konsep seperti ini tidak akan lahir dari sistem yang menjauhkan peran pencipta dalam mengatur kehidupan, seperti sistem demokrasi. Jika demokrasi telah nyata tak mampu menyelesaikan masalah korupsi, mengapa masih dipertahankan? “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”(Qs. Al-A’raf: 96). Wallahu 'alam bi shawwab.(<strong>***)</strong> <strong>Penulis: Relawan Media</strong> <strong>Jangan lewatkan video populer:</strong> https://www.youtube.com/watch?v=ldv6luPeLVI
Discussion about this post