Landasan kebijakan pembangunan KPH diperkuat oleh beberapa Undang-Undang, sedangkan landasan pembangunannya mengikuti beberapa Peraturan Pemerintah dan landasan teknis penyelenggaraannya diatur dalam sejumlah Peraturan Menteri.
Kebijakan pembangunan KPH adalah usaha konservasi yang dilakukan untuk mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan menjaga kelestarian, keseimbangan dan pemanfaatan ekosistem sumber daya alam hayati berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang merupakan tanggung jawab dan wewenang dari Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Tata Hutan, Penyusunan Rencana Pengolahan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.
Sejak saat itu secara intensif pembangunan KPH dimulai dengan membentuk rancang bangun penetapan lokasi KPH di setiap provinsi.
Langkah itu kemudian dilanjutkan dengan pembentukan organisasi melalui Peraturan Dalam Negeri No. 61 Tahun 2010 serta dilengkapi perangkat kerjanya melalui pendanaan dari APBN maupun APBD.
Dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan hutan tersebut diperlukan pembentukan wilayah pengelolaan hutan yang dilaksanakan pada tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Unit Pengelolaan sebagaimana hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan dengan adanya pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Secara konseptual pembangunan KPH merupakan proses pergeseran institusi yang membawa perubahan fundamental pada cara berpikir, sistem nilai dan budaya pengurusan hutan Indonesia (Rahmadanty et al., 2021).
Selanjutnya, pembagian kewenangan KPH meliputi: Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) menjadi bagian dari pemerintah pusat, sementara Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) bagian dari pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota.
Pembagian kewenangan KPH dalam pengelolaan hutan di provinsi dan kabupaten yang dimaksud disini hanyalah sebatas pada pengelolaan hutan mencakup penataan hutan, penyusunan rencana pengelolaan, pemanfaatan, rehabilitasi dan reklamasi, serta perlindungan dan konservasi alam yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, yang secara teknis penyelenggaraannya diatur dalam Permen LHK No. 7 Tahun 2021 tentang Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
Inilah yang menjadi salah satu pemicu belum berjalan efektifnya KPH di luar Jawa. Sungguh sangat disayangkan KPH di luar Jawa sekarang ini, tidak ubahnya seperti lembaga administrator yang mencatat dan memfasilitasi sekian deret perizinan baik itu izin pemanfaatan kayu (IPK), izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam, hutan tanaman, hutan kemasyarakatan (IUPHHK HA/HT/HTR/HKM).
Bahkan yang lebih parah dari itu adalah hanya sekadar saksi atau pengaman dari adanya pengurusan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang jelas-jelas akan mendatangkan kerusakan bagi hutan dalam skala luas. KPH seperti Singa (Raja Hutan) yang lagi letih, lesu dan loyo, jangankan mau melestarikan hutan, menjaga saja hutannya dari perambahan dan pembalakan liar sudah tidak berdaya.
Lalu bagaimana sebenarnya konsep dan implementasi KPH pada tingkat tapak yang dapat melestarikan hutan bukan malah menjadi hutan semakin gersang atau kosong?
Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dahulu adalah organisasi yang mempunyai peranan tidak saja mementingkan aspek teknik kehutanan semata, akan tetapi juga sudah memikirkan aspek sosial ekonomi masyarakat khususnya desa-desa inklave dan enclave (Purwanto dan Yuwono, 2005).
Secara garis besar ada dua organisasi pokok dalam konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan yaitu: Planning Unit; bertugas mengendalikan/mengontrol kelestarian hasil (berupa standing stock), dan Management Unit; sebagai organisasi pengelolaan hutan berfungsi untuk mengendalikan keuntungan finansial perusahaan.
Antara konsep planning unit dengan management unit saling berdiri sendiri (terpisah dan mandiri), dan tidak ada yang menjadi subordinasi dari yang lain, akan tetapi keduanya bersinergi untuk mencapai kelestarian hasil dan kelestarian perusahaan.
Planning Unit (Boschafdeling/Bagian Hutan).
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa planning unit bertugas mengendalikan/ mengontrol kelestarian, dimana hal itu diterapkan dalam konsep Bagian Hutan (Boschafdeling). Di sini bagian hutan dapat didefinisikan sebagai suatu areal penataan hutan yang hanya dibatasi oleh ketentuan sebagai kesatuan daerah (penghasil) produksi dan sebagai kesatuan daerah eksploitasi.
Kesatuan daerah produksi berfungsi untuk mengatur kelestarian hutan dan kekekalan perusahaan dengan penentuan besarnya etat tebangan dan penentuan daur tebangan.
Prinsip dasar dari kelestarian hutan adalah luas areal penanaman sama dengan luas hutan yang ditebang, sedangkan kekekalan perusahaan akan tercapai saat diperolehnya keuntungan finansial untuk mengelola hutan dari mulai kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengamanan, penebangan, pembuatan jalan dan pekerjaan adminstrasi.
Kesatuan daerah eksploitasi yaitu pengaturan efektifitas dan efisiensi kegiatan eksploitasi hutan, dimana Bagian Hutan umumnya merupakan suatu kesatuan DAS ataupun sub DAS. Pendekatan DAS ataupun sub DAS ini lebih ditekankan pada efektifitas pengangkutan hasil hutan.
Discussion about this post