Alih-alih ada hasilnya, yang terjadi kemudian adalah deflasi yang menghancurkan kelas menengah. Hasil susenas BPS Maret 2024, jumlah kelas menengah turun dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada tahun ini. Ini semua karena arsitektur perekonomian kita masih kolonial.
Arsitektur yang tak berubah itu dikuatkan oleh para ekonom dan bangkir yang berlaku sebagai rentenir: jahat bin laknat. Mereka berbaris di istana, kemenkeu, BI dan Bappenas. Kerjanya cuma lima: menumpuk utang, mengimani obral SDA, memalaki rakyat, mengagamakan KKN dan menari bahagia di zaman krisis.
Kini, mengingat pikiran, karya dan semangatmu bagai mengingat “nisan kesetiaan.” Ya. Kesetiaan adalah tumpukan batu pondasi yang memeluk waktu menjelma dalam potret, foto, buku, jurnal dan tulisan. Ia mata ajar di kitab suci dan liturgi. Hulu ledaknya tertulis di ngarai langit semesta. Saat jatuh meluruh, setrilyun galon air mata tak cukup menghapusnya. Maka, pada hati dan jiwamu, wirid kecintaan ini tidak tak terhenti.
Mengingat kritikmu, kami lalu sadar bahwa kurikulum sekolah kita mencetak otak berpikir pinggir, ecek-ecek, melankolis, dramatik dan mengabsenkan hulu. Lahirlah lolosan para pekerja sekelas tukang: tukang kibul, tukang olah, tukang profesor, tukang pejabat, tukang politik, tukang rentenir, dll.
Akhirnya, republik ini cukup dipimpin tukang kayu. Semua diukur, dipotong dan diobral murah demi kelaminnya sendiri.
Mengingat perjalananmu, membuatku punya renungan soal pergerakan. Ya, pergerakan kita seperti harap revolusi yang berasal dari guyon, ngobrol, marah dan eksekusi. Jika hanya ada kemarahan tanpa eksekusi, maka tidak akan ada revolusi. Sungguh! Yang tak marah pada rezim rakus selokan adalah mereka yang hatinya tuli, bisu, buta dan mati.
Discussion about this post