Oleh: Yuni Damayanti
Pemerintah membolehkan tenaga kesehatan dan tenaga medis untuk melakukan aborsi pada korban tindak pidana perkosaan atau korban tindak pidana kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan.
Hal itu diatur dalam aturan pelaksana Undang-Undang No 17 tahun 2023 melalui Peraturan Pemerintah (PP) 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
“Setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali atas indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana,” dikutip dari pasal 116.
Dikutip dari Pasal 118 huruf b, aborsi juga dapat dilakukan dengan keterangan penyidik mengenai dugaan perkosaan atau kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan. Dikutip dari pasal 119, pelaksanaan aborsi hanya dapat dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut yang sumber daya kesehatannya sesuai dengan ketetapan Menteri Kesehatan.
Korban tindak pidana kekerasaan seksual yang hendak melakukan aborsi harus mendapatkan pendampingan konseling. Dikutip dari pasal 124 ayat 1, apabila selama pendampingan korban hendak berubah pikiran dan membatalkan aborsi berhak mendapatkan pendampingan hingga persalinan (Tirto.id, 30/07/2024).
Pasal aborsi dalam PP 28 Tahun 2024 mendapatkan penentangan dari Ketua MUI Bidang Dakwah, M. Cholil Nafis beliau mengatakan belum sesuai dengan ketentuan agama Islam. Ia mengatakan aborsi hanya bisa dilakukan ketika kedaruratan medis, korban pemerkosaan, dan usia kehamilan sebelum 40 hari atau sebelum peniupan ruh.
Menurutnya PP 28 Tahun 2024 ini sudah sesuai dengan islam hanya kurang ketentuan soal boleh aborsi karena diperkosa itu harus usia kehamilan sebelum 40 hari. Ulama sepakat tidak boleh aborsi sesudah ditiupkan ruh, usia kehamilan di atas 120 hari, kata Cholil (Media Indonesia, 01/08/2024).
Kebolehan aborsi untuk korban pemerkosaan yang hamil dalam PP 28 Tahun 2024 dianggap sebagai salah satu solusi untuk korban pemerkosaan. Padahal sejatinya tindakan aborsi akan menambah beban korban karena tindakan aborsi meski legal tetap beresiko. Yang harus diingat, tetap harus memperhatikan hukum Islam atas aborsi yang haram dilakukan kecuali ada kondisi yang dibolehkan oleh hukum syara.
Adanya kasus pemerkosaan di negeri ini sejatinya karena negara tidak mampu memberi jaminan keamanan bagi perempuan. Bahkan meski sudah ada UU TPKS. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan pemerkosaan salah satunya adalah soal ketidakmampuan pelaku mengendalikan dorongan nafsu atau libidonya.
Selain itu, tentu ada beberapa faktor lain misalnya perkembangan psikososial, lingkungan, pendidikan dan budaya setempat dalam memandang seks serta pemahamannya di masyarakat, lalu pandangan terhadap kaum perempuan dan anak sebagai makhluk lemah dan mudah diperdaya juga berpotensi memicu tindak pidana perkosaan.
Jika melihat banyaknya faktor pemicu terjadinya tindakan pemerkosaan ini ternyata karena semuanya dilatarbelakangi oleh pemisahan agama dari kehidupan. Pemahaman ini menjadikan individu-individu hanya mau menggunakan agamanya untuk perkara ibadah ritual saja.
Mereka tidak mau menerapkan agamanya dalam segala aspek kehidupan, padahal agama telah mengatur bagaimana penyaluran nafsu seksual yang benar dan cara melindungi anak-anak dan memuliakan perempuan. Miris!
Discussion about this post